Monday, December 3, 2018

Merah Darah

https://bit.ly/2AI3wHK




“Gimana tadi Dik sekolahnya?”tanyaku pada Siti putriku.

“Tadi ada orang dari puskesmas Ma. Cerita-cerita gitu di depan kelas. Kasih tau kalo ga boleh jajan smebarangan.”celotehnya.

“Oh ya? Berapa orang yang datang Dik? Ada dokternya?”tanyaku lagi.

“Tadi itu…2 orang Ma. Yang satu pakai baju coklat yang satu lagi pakai baju batik Ma.”jawab Siti.

“Kenapa ga boleh jajan sembarangan Dik?”aku mencoba menguji putriku apakah ia mendengarkan penjelasan petugas penyuluhan puskesmas di sekolahnya atau tidak.

“Ya itu Ma, pakai pewarna Ma. Kan warnanya merah, ijo, kuning menyala gitu ma. Kata pak dokter tadi itu pewarna berbahaya. Terus banyak jajan yang digoreng pakai minyak hitam. Tadi dikasih liat gambarnya Ma, hitam banget. Itu katanya pak dokter sudah dipakai goreng lebih sepuluh kali tapi nggak diganti.”Siti bersemangat menjelaskan. Senang putriku bisa mengingat pesan [enyuluh kesehatan dengan baik.

“Trus apalagi?”aku terus bertanya.

“Ya itu Ma, jajan depan sekolah sering ga dibungkus. Tar dihinggapi lalat. Terus bawa penyakit. Bisa mencret Ma.”

“Gitu ya Dik? Ya sudah makan dulu.”Aku menghentikan penjelasannya sambil menyodorkan mangkuk bakso berkuah bening dengan butiran bola daging besar menggugah selera. Kami mampir makan bakso di warung bakso Pak Di langganan kami.

“Adik pakai kecap saja ya?”ulasku sambil menuang beberapa tetes kecap manis ke mangkuk baksonya

“Iya Ma. Loh mama pakai saus?”Kan tadi kata pak dokter ga boleh ma pakai saus merah. Katanya itu pewarnanya ngga bagus ma”Siti berargumen ketika melihatku menuangkan saus tomat berwarna merah darah pekat ke dalam mangkukku.

“Ngga apa-apa. Mama udah besar. Siti masih kecil jadi ga boleh pakai saus merah.”jawabku singkat sambil terus menuang saus merah darah  dari botol kaca ke dalam mangkuk sampai kuahnya mengental merah darah. Kutambah 3 sendok sambal dan kusantap.

Siti melongo melihatku.



#ODOPBatch6

Sunday, December 2, 2018

Penantian


https://bit.ly/2zBn40M


Perlahan jariku menggerakkan kelambu tebal berwarna hijau muda yang membatasi tempatku berbaring dengan pasien lain. Kupegang lengan kananku dan kupencet perlahan bagian bawah lipatan dalam tanganku, tegang dan keras. Jarum infus masih menempel di dekatnya. Aku menengadah ke atas dan silau lampu ruangan membuatku mengerjap, kuingat-ingat berapa lama aku sudah ada di sini. Kuhitung sudah lima hari sudah lamanya.

Aku gerakkan perlahan lengan kananku yang berinfus, kugeser bantal yang menopangnya agar lenganku bisa jatuh ke kasur, sejajar dengan lengan kiriku. Sedikit pegal rasanya. Kugerakkan ujung jari tangan kananku dan kuraba selimut lembut yang wangi cairan desinfektan. Cukup lembut selimut ini untuk ukuran rumah sakit umum daerah pinggiran.

Kurasakan sakit yang aneh di bagian perut bawahku. Aku penasaran apa sayatan itu berbekas. Bagaimana para dokter itu mencabikku di meja operasi, apa mereka sudah memperlakukanku sebaik-baiknya dengan membuat guratan pasca operasi yang layak. Atau mungkin nanti berbekas lebar? Kubuang pikiran jelek itu dan aku kembali terpekur dalam penantianku.

Ada hal yang lebih penting lagi. Sudah lewat 12 jam, ah salah sudah sehari semalam dan dua jam lagi, tepat dua jam lagi akan masuk hari kedua pasca operasiku dia tak kunjung datang. Aku tidak bisa membuatnya berjanji dan aku tahu dia juga tak bisa menjanjikan apa-apa padaku. Tuhan tolong segera kirim dia, kini aku ketakutan sendiri di ruangan tempat aku berbaring. Dulu aku acuh menganggap kehadirannya. Sering malu aku dibuatnya jika orang lain tahu tentang keberadaannya. Sekarang aku teramat sangat membutuhkannya. Tuhan yang Maha Pengampun, ampunilah dosaku dan tolonglah umatmu ini, aku memejamkan mata sembari berdoa.

“Ma, gimana?” suamiku datang kembali dari kamar obat dan mengambil kursi duduk di sampingku.

“Belum Pa.”jawabku.

“Belum kentut Ma?” suamiku menatap wajahku yang memelas.

“Belum, gimana nih pa?”aku merengek setengah khawatir.

“Coba kutanya perawat jaga ya. Tunggu ya Ma?”suamiku bergegas keluar ruangan.

Duh kentut mengapa kamu belum juga datang? Kamu maha penting melebihi segala urusan duniawiku pasca operasi. Datangnya dirimu pertanda usus dan organ tubuh dalam lainnya di pencernaan sudah bangun dan sudah bisa bekerja mengolah makanan. Kentutku, segeralah datang.


#ODOPBatch6
   

Kawan Lama

https://bit.ly/2lPjAkF


Sore ini seperti biasa selepas Ashar wanita berdaster itu berjalan menyusuri gang. Usianya sekitar 56 tahunan. Kadang ia memakai jilbab, kadang rambutnya dikonde cepol kecil. Ia selalu memakai gaun rumah yang dibuat longgar. Setiap hari selalu salin pakaian, berbedak dan berjalan tergesa langkah teratur.

Hari ini dijinjingnya kursi kecil dari plastik. Tujuannya satu, ke ujung gang, Ia akan menunggu temannya datang. Temannya selalu datang dan mereka akan bercengkerama, bicara ngalor-ngidul tentang topik apa saja yang menarik hati mereka berdua. Mereka selalu bertemu di pos kamling RT lima.  Posnya tepat di sisi jalan raya di sebelah mulut gang. Pos selalu terkunci dengan beberapa kursi plastik tempat orang duduk meronda di malam hari,  jadi wanita tua berdaster membawa kursi kecilnya sendiri.

Ia sampai di pos kamling. Sedikit membungkuk ia mencari tempat yang pas untuk kursinya. Diperiksanya kerikil pinggir jalan, dicungkil satu yang menurutnya tidak pada tempatnya dan diletakkan kursinya. Pas! Giliran pantat diparkir di atas kursi. Nyaman sudah, tinggal temannya yang belum datang.

Tak lama berselang ia mulai tertawa. Bahagia hatinya temannya sudah datang tidak terlambat. Wanita tua berdaster mulai bercerita tentang kegiatan belanjanya kemarin. Ia memasang wajah kesal, harga-harga naik dan ia bertemu musuh masa kecilnya. Bicaranya mulai berapi-api, ia mengingat semua kebencian pada teman masa kecilnya itu. Sedikit sumpah serapah terlontar juga dari mulutnya sambil bercerita. Kesal hati dan dendamnya membuatnya tak henti bercerita tentang belanjaan dan musuhnya.

Ia terus mengajak teman ngobrolnya bicara tentang banyak hal. Kadang ia tertawa karena memang lucu ceritanya, kadang nadanya datar, dan kadang penuh amarh, seperti cerita belanja kemarin hari yang tak sengaja bertemu musuh. Ia tak henti bercerita, sesekali melihat sekilas ke arah segelintir orang yang melewatinya cepat-cepat. Ia tak peduli dan terus bercerita.

Hari makin senja dan menjelang waktu Maghrib ia berpamitan dengan temannya. Sedikit tertawa terkekeh ia berpamitan dan beranjak pergi. Tak lupa ia ambil kursi plasti kecilnya dan berjalan masuk gang kembali ke rumahnya. Esok di jam yang sama ia akan kembali ke pos kamling, temannya pasti menunggu. Ia berjalan melewati ibu-ibu yang baru pulang dari pengajian di masjid kampung di gang itu. Ia tidak menyapa dan terus berjalan ke rumah.  Para ibu tadi melihat wanita tua berdaster dan mulai membahas hal yang sama, mengasihani wanita tua berdaster yang berkawan dengan khayalannya, berbicara dengan angin setiap hari di jam yang sama tanpa terlewat satu hari pun. Kadanga bicara dan kadang memaki tanpa ada teman bicara. Ibu pengomentar mengingatkan kelompoknya agar selalu rileks, tidak stres, agar tidak gila. Ia menutup komentarnya sambil tertawa terkekeh dalam nasihat yang dibungkus dengan nada melucu. 


#ODOPBatch6

Hanya Aku Bukan Kamu

https://bit.ly/2QaSOEj


Dalam bara renjana yang meletup sekuat magma, kuredam kuat semua rasa dalam-dalam. Tidak, kau tidak berkata apa yang harus kulakukan dengan deburan ombak rindu tak tentu arah ini. Dalam sua kita terdahulu sampai esok pun tak pernah kau tunjukkan padaku apa yang harus kubuat.

Apa hanya aku yang merindu sementara kau tak rasa? Apakah kebas hati kekal denganmu? Sedikit kuminta untuk penawar luka, hingga lara tak menganga tapi tak ada rasa itu padaku. Walau berat kutanggung hadirmu kutunggu, biar seperti benalu yang kusut masai mengakar kuat di nuraniku.

Hanya aku yang merindu dan bisu yang kudengar dari ucapmu.


#TantanganProsaLiris
#ODOPBatch6
#OneDayOnePost

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...