Minggu lalu di komunitas membaca online dibahas tentang
genre. Istilah yang umum dipakai tapi ramai jadi bahan diskusi. Genre yang
belum ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia ini jika dirujuk dari bahasa
Inggris berarti sebuah upaya untuk mengelompokkan karya-karya seni ke dalam
kategori-kategori yang didasarkan pada ciri-ciri tertentu. Genre pada dasarnya
ada pada setiap karya seni, mulai dari musik, lukis, tari, teater, dan
seterusnya hingga ke ranah literasi.
Pemahaman yang saya dapat dari kelas malam itu adalah tidak
ada aturan baku mengenai genre. Tidak ada genre paten dan pakem untuk segala
hal dan segala zaman, termasuk dalam dunia literasi. Genre lain bisa berkembang
dari satu genre yang sudah ada
sebelumnya. Dari diskusi yang saya ikuti, pemateri menyatakan bahwa pada
dasarnya manusia suka mengelompokkan, suma memberi nama. Karena zaman berubah,
dinamis, maka banyak sekali perubahan genre.
Saya teringat materi ini ketika mendengarkan Alex Boye,
musisi YouTube yang memberikan rasa Afrika pada lagu-lagu pop. Ia membuat versi
cover dari lagu-lagu tren macam Grenade dari Bruno Mars, As Long As You Love Me
dari Backstreet Boys, A Million Dreams dari Zendaya. Dan banyak lagu lainnya. Bagi
saya ia telah menciptakan genre baru yang bisa disebut Boyeisme, karena dalam
semua lagu yang dinyanyikannya ada rasa Afrika yang kental di sana.
Alex Boye juga seorang tokoh yang inspiratif bagi saya. Ia
mampu memberi keunikan pada setiap lagu yang dinyanyikan dan ia bangga pada
akar budayanya. Terbukti banyak lagu pop ketika diubah ke dalam aransemen yang
lebih Afrika, makin baik kualitasnya. Keunikan yang tidak dilakukan penyanyi
Afrika lainnya.
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
Tulisan ini menarik. Saya menikmati dari awal hingga akhir. Meski saya buta tentang musik, tapi saya bisa menangkap pesannya yang ingin disampaikan
ReplyDeleteTerima kasih banyak mb Endah :)
Delete