Showing posts with label Tantangan. Show all posts
Showing posts with label Tantangan. Show all posts

Sunday, September 16, 2018

Kehadiranmu

sumber: https://bit.ly/2qYlIHv


“Adi, aku senang bertemu denganmu lagi.”
kutatap lekat mata Adi dalam senyuman terbaikku.

“Hai cantik, aku juga senang bisa ada di sini bersamamu.” Adi merengkuh tubuhku, memelukku erat. Hangat, bahagia itu ternyata berupa kehangatan romansa kami berdua. Sudah lama, lama sekali kami berpisah, tak dinyana ternyata hari ini kami bisa bertemu kembali.

Cuaca hari ini indah, langit kuning jingga. Sore menjelang dan siang enggan pulang. Aku bahagia bisa menemui Adi dalam pakaian terbaikku. Gaun putih panjang, klasik tapi cantik. Sederhana dan ada ruffle di bagian bawah gaunku, pita manis mengikat pinggangku melengkapi indahnya gaun yang ringan bergoyang diterpa angin sore.

Kamu tidak banyak bicara, begitu juga aku. K
ami berdua saling tersenyum, berdiri di tanah lapang dan sesekali berdekapan. Kamu masih ingat bagaimana seharusnya laki-laki berbuat romantis bagi wanitanya. Dulu kamu tak begini, Adi. Aku bersyukur, saat ini aku menemuimu dalam masa yang berbeda. Masa yang jauh lebih baik, dirimu yang jauh lebih lembut dan penuh cinta.

Adi kembali melingkarkan lengannya di pinggangku, menyorongkan tubuhku dekat dengan tubuhnya. Kusandarkan kepalaku di bahunya, kami bersama menatap sang surya yang menghilang perlahan, malu cemburu oleh kemesraan kami. Kurasakan tegap tubuhnya tidak berubah. Erat genggaman tangannya sama, kuat yang melembutkan hati, menggamitku dalam ketabahan jiwanya.

Dulu jauh berbeda. Ia tidak dingin tapi juga tanpa kehangatan yang berarti. Kami banyak tertawa tapi aku banyak menangis di malam-malam sendiriku. Adi menatapku, hanya menatapku. Ia tak berkata apa-apa, bisu. Tapi aku merasakan kebahagiaan yang membuncah entah darimana asalnya. Tak sama, sedikitpun tak sama dengan girangnya aku saat dulu bersamamu. Ah, yang lalu biarlah berlalu, kini kami ada di sini tersenyum dalam bunga-bunga suka cita.

Aku masih mengagumi gaun putihku, merasakan angin semilir yang menemani sore dan menikmati detik-detikku bersama Adi. Tiba-tiba gelap. Hanya gelap. Semua menjelma rupa, berganti cuaca, cahaya, dan citra absurd. Adi di mana?

Aku terbangun
dari tidurku. Bersyukur dan tersenyum kecil, senang hati sudah bersamamu.  Betapa otakku menyimpan ribuan gambar rupamu, kenangan tentangmu, dan keinginan tak terwujud ketika bersamamu dulu. Aku tahu kamu miliknya dan memilihnya, bukan aku. Aku juga kini berlaga kasih dengan kekasihku yang sekarang. Tapi aku bahagia, nostalgia ini menyenangkan, sangat menyenangkan. Adakah aku dalam bunga tidurmu?

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6 

Wednesday, September 12, 2018

Mematut Maut

sumber gambar: https://bit.ly/2Qonsq8



“Bang, rokok satu dong.” 

“Nggak ngecer Bur. Kerjaan enak masih aja beli rokok ngeteng. Beli sebungkus lah.” Tohari menggoda si pelanggan warung yang sudah lama dikenalnya. Burhan sudah seperti saudaranya sendiri. Dulu ia sering iri karena Burhan selalu juara di sekolah, walau jadi adik kelasnya. Pekerjaannya pun mapan, berulang kali ikut proyek pembangunan jalan tol. Kadang pulang tiga bulan sekali. Kadang lama di kampung, tapi ia selalu berkantong tebal. Semua orang di kampung tahu Burhan beruang, bulan lalu baru membeli motor baru. Tunai, tidak seperti para tetangga yang menyicil motor dan berhutang sana-sini.


Tohari lantas memberikan sebatang rokok pada Burhan. “Nih, sebiji aja? Ga kurang? Tiga lah ya?”

“Jangan lah Bang. Aku kurangi rokok. Calon istriku tak suka aku banyak merokok.” Burhan berkelit sambil mengambil hanya sebatang dari beberapa yang disodorkan Tohari.

“Loh, sebatang juga kalo dibakar bakal nagih Bur. Kurang lah.” Tohari tertawa mengejek sambil memasukkan sisa rokok ke dalam wadah kaleng kecil dan memasukkan ke etalase kaca warungnya. 

“Sejak kapan kamu jadi manut sama perempuan Bur?” Penasaran Tohari bertanya sambil duduk berdekatan dengan Burhan.

“Ah kamu ini Bang. Calon istriku ingin aku sehat, katanya biar aku hidup lebih lama, bisa menjaganya selalu. Jadi aku disuruh berhenti merokok. Ya susah, tapi mulai aku kurangi. Ngeri aku Bang, dua temanku kemarin sekarat kena kanker tenggorokan dan satu lagi mandul. Lah sekarat juga itu namanya Bang. Ngeri aku, yang terakhir itu paling ngeri lah dibanding kanker.” Burhan tertawa kecut.

“Kalo mati ya mati aja Bur.” Tohari mengejeknya.

“Ya beda lah Bang. Sama kaya makan, ga usah makan juga ga masalah kalo tujuannya mati. Kita kan berusaha hidup. Rokok itu kaya ulat Bang. Lamban tapi habis sepohon, pelan tapi menggerogoti paru-paru Bang. Parahnya ya itu…bikin mandul. Apes banget lah Bang kalo itu, mana ada gagahnya laki-laki mandul Bang.” kali ini Burhan tertawa keras, mungkin membicarakan kemandulan terlalu menggelikan buatnya.

“Terserah kau lah Bur.” Tohari berdiri meninggalkan Burhan yang hanya mencium sebatang rokoknya tanpa disulut. Ia lalu melayani pembeli lain yang datang memesan kopi hitam. Sambil menjerang air Tohari membuka laci meja warungnya dan meraba sekilas amplop coklat lebar yang merebah lesu di sana bersama lembaran uang dan beberapa logam uang receh. Diingatnya hasil foto rontgen dua bulan lalu. Kata dokter, PPOK*. Namanya terlalu seram untuk dihafal.

Tohari berhenti berobat dan memilih untuk menikmati hidup versinya. Merokok dan berjualan seperti biasa. Toh nasib sudah diatur Tuhan, begitu pikir Tohari. Jika maut datang dia tinggal menyambut. Tak perlu seperti Burhan yang mematut maut agar tak datang cepat, supaya hidupnya lebih berkualitas, untuk bisa hidup lebih bahagia. Buat Tohari hidup ini tak perlu muluk-muluk. PPOK cukup dibabat dengan minum jamu buatan istrinya. Ini kesimpulan dari konspirasi jahat akal buntu dan kelemahan imannya. Toh itu yang keyakinan Tohari.

Diliriknya Burhan yang tersenyum-senyum sambil menatap layar gawai. Ia bercakap-cakap manja dengan pacarnya. Suara keduanya bercampur dengan bau kopi dan gorengan pisang, ketela, dan ubi yang menguar dari meja warung. Rokok tetap ada di antara jari tengah dan telunjuk kiri Burhan, diam di situ tak disulut. Sudah diajarkan si pemilik untuk ikut mematut maut.


*PPOK = Penyakit Paru Obstruktif Kronik

#tantanganODOP1
#onedayonepost
#odopbatch 6

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...