Thursday, November 15, 2018

Timor Lorosa'e

Photo by Dio Hasbi Saniskoro from Pexels


“Mengapa kita tinggal di sini Kak?” suara Lerowai membuyarkan lamunanku.

“Karena kita memang ditakdirkan tinggal di sini.” jawabku singkat.

“Takdir itu apa?” tanyanya lagi.

“Nanti kau tau. Sana bantu ibu, cepat.” usirku yang tak mau lagi diusik dengan rentetan pertanyaan Lerowai, adik bungsuku.

Lerowai menurut saja meninggalkanku di beranda rumah. Ia menaiki lantai papan reot rumah kami yang bunyinya seperti meringkik tak kuat menahan beban kami bersembilan yang tinggal di atasnya. Aku melihat jauh mencoba mencari cakrawala tapi yang nampak hanya semburat mega mendung menyeruak di langit sisi barat yang seharusnya cerah.

Aku mengumpulkan semua harapanku untuk melihat jauh ke depan tapi yang kupunya hanya kesedihan dan amarah yang membuncah. Kedua rasa bengis itu seperti ingin meluap keluar dari ragaku tapi tercekat sampai di pangkal leherku. Tak bisa aku murka padanya yang telah memberikanku banyak kenikmatan. Tak bisa aku berpaling dari rasa cinta yang bukan dari hatikusaja, tapi menguar dari seluruh pori-poriku juga.

Baru tahun lalu aku pergi diundang bertemu dengan orang terhormat yang menyematkan bintang jasa di dadaku. Dijabatnya tanganku, digoncangkan dan dengan mata berkaca-kaca diucapkan banyak terima kasih darinya atas usahaku memajukan tanah kelahiranku, menghapus buta aksara, mendorong anak dan orang tua hidup jorok seperti babi peliharaan kami yang berkeliaran dekil dan berkubang kotor, tak terhitung banyaknya hal yang diselamati oleh orang itu atas jasaku. Aku ingat ia bilang, “Kau anak muda harapan bangsa. Kami berhutang banyak padamu. Tanah kelahiranmu butuh 100 orang sepertimu. Kamu kebanggaan Indonesia.” indah bukan?

Teringat olehku syair syahdu lagu Indonesia Raya stanza ketiga yang menggetarkan kalbu itu. Janji dan baktiku pada negeri bernama Indonesia tak akan hilang, walau kini aku terusir jauh, terlempar, terserak bersama ratusan orang dari kampungku melewati batas buatan manusia yang bernama Pos Lintas Batas Negara. Tanda jasaku tak mampu menyelamatkanku dari perpecahan yang terlalu keji ini. Hanya dengan adik dan ibuku aku hidup di tanah asing ini.

Ayahku mati ditembak milisi anti-kemerdekaan Timor-Leste yang dibantu tentara Indonesia. Hanya karena saat itu ayah lupa mengelap keringatnya dengan kaus FRETILIN. Diteriakkannya cinta Indonesia tapi tak digubris. Ayahku, panutan hidupku, terkapar oleh mereka yang negaranya kucintai. Sanggupkah aku bertahan melawan murka nestapaku?

Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri, 
N'jaga ibu sejati.
Indoneisa, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia Abadi.
S'lamatlah rakyatnya,
S'lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg'rinya,
Majulah pandunya, 
Untuk Indonesia Raya.


14 comments:

  1. Keren ini mah ceritanya mbk, dari kisah nyata kah? Gaya bahasanya aku suka😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi kak, makasiii..ngga..ini pure fiksi. Lagu yang keinget ya ini. Saya pengen yang ga cinta2an ala lagu-lagu itu. Makasih udah mampir

      Delete
  2. bagus banget ceritanya
    idenya keren..
    goodjob

    ReplyDelete
  3. Jadi keinget cerita2 org2 di sana 🌻🌻🌻

    ReplyDelete
    Replies
    1. belum kukasih caption, ini semua rekaan, kesamaan cerita, lokasi dll hanya kebetulan belaka hehehe

      Delete
  4. Ah suka.... Tapi miris ya ceritanya, p"pahlawan Indonesia" justru "terusir" dari negerinya karena keegoisan? 😐😢

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih kak, dan yg seperti ini banyak sekali terjadi. entah dalam konteks kenegaraan, kemasyarakatan dll

      Delete
  5. Wah idenya keren, penulisannya juga bikin hati ikutan geregetan.

    ReplyDelete

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...