sumber gambar: https://bit.ly/2Qonsq8 |
“Bang, rokok satu dong.”
“Nggak ngecer Bur. Kerjaan enak masih aja beli rokok ngeteng. Beli sebungkus lah.” Tohari menggoda si pelanggan warung
yang sudah lama dikenalnya. Burhan sudah seperti saudaranya sendiri. Dulu ia
sering iri karena Burhan selalu juara di sekolah, walau jadi adik kelasnya.
Pekerjaannya pun mapan, berulang kali ikut proyek pembangunan jalan tol. Kadang
pulang tiga bulan sekali. Kadang lama di kampung, tapi ia selalu berkantong
tebal. Semua orang di kampung tahu Burhan beruang, bulan lalu baru membeli
motor baru. Tunai, tidak seperti para tetangga yang menyicil motor dan
berhutang sana-sini.
Tohari lantas memberikan sebatang rokok pada Burhan. “Nih,
sebiji aja? Ga kurang? Tiga lah ya?”
“Jangan lah Bang. Aku kurangi rokok. Calon istriku tak suka
aku banyak merokok.” Burhan berkelit sambil mengambil hanya sebatang dari
beberapa yang disodorkan Tohari.
“Loh, sebatang juga kalo dibakar bakal nagih Bur. Kurang
lah.” Tohari tertawa mengejek sambil memasukkan sisa rokok ke dalam wadah
kaleng kecil dan memasukkan ke etalase kaca warungnya.
“Sejak kapan kamu jadi manut sama perempuan Bur?” Penasaran
Tohari bertanya sambil duduk berdekatan dengan Burhan.
“Ah kamu ini Bang. Calon istriku ingin aku sehat, katanya
biar aku hidup lebih lama, bisa menjaganya selalu. Jadi aku disuruh berhenti
merokok. Ya susah, tapi mulai aku kurangi. Ngeri aku Bang, dua temanku kemarin
sekarat kena kanker tenggorokan dan satu lagi mandul. Lah sekarat juga itu
namanya Bang. Ngeri aku, yang terakhir itu paling ngeri lah dibanding kanker.”
Burhan tertawa kecut.
“Kalo mati ya mati aja Bur.” Tohari mengejeknya.
“Ya beda lah Bang. Sama kaya makan, ga usah makan juga ga
masalah kalo tujuannya mati. Kita kan berusaha hidup. Rokok itu kaya ulat Bang. Lamban tapi habis sepohon, pelan
tapi menggerogoti paru-paru Bang. Parahnya ya itu…bikin mandul. Apes banget lah
Bang kalo itu, mana ada gagahnya laki-laki mandul Bang.” kali ini Burhan
tertawa keras, mungkin membicarakan kemandulan terlalu menggelikan buatnya.
“Terserah kau lah Bur.” Tohari berdiri meninggalkan Burhan
yang hanya mencium sebatang rokoknya tanpa disulut. Ia lalu melayani pembeli
lain yang datang memesan kopi hitam. Sambil menjerang air Tohari membuka laci
meja warungnya dan meraba sekilas amplop
coklat lebar yang merebah lesu di sana bersama lembaran uang dan beberapa logam
uang receh. Diingatnya hasil foto rontgen dua bulan lalu. Kata dokter, PPOK*.
Namanya terlalu seram untuk dihafal.
Tohari berhenti berobat dan memilih untuk menikmati hidup
versinya. Merokok dan berjualan seperti biasa. Toh nasib sudah diatur Tuhan,
begitu pikir Tohari. Jika maut datang dia tinggal menyambut. Tak perlu seperti
Burhan yang mematut maut agar tak datang cepat, supaya hidupnya lebih
berkualitas, untuk bisa hidup lebih bahagia. Buat Tohari hidup ini tak perlu
muluk-muluk. PPOK cukup dibabat dengan minum jamu buatan istrinya. Ini kesimpulan
dari konspirasi jahat akal buntu dan kelemahan imannya. Toh itu yang keyakinan
Tohari.
Diliriknya Burhan yang tersenyum-senyum sambil menatap layar
gawai. Ia bercakap-cakap manja
dengan pacarnya. Suara keduanya bercampur dengan bau kopi dan gorengan pisang,
ketela, dan ubi yang menguar dari meja warung. Rokok tetap ada di antara jari
tengah dan telunjuk kiri Burhan, diam di situ tak disulut. Sudah diajarkan si
pemilik untuk ikut mematut maut.
*PPOK = Penyakit Paru Obstruktif Kronik
#tantanganODOP1
#onedayonepost
#odopbatch 6
#onedayonepost
#odopbatch 6
No comments:
Post a Comment