Sunday, October 7, 2018

Furrever Home - Terjebak (Bagian 1)



“Ayo jalan cepat, jangan saling dorong. Jalan cepat tapi teratur. Ya, begitu. Ayo cepat!”

Aku mendengar seorang yang usianya mungkin sama dengan ibu berseru pada yang lain untuk berjalan cepat. Mungkin pada anak-anaknya. Aku pusatkan pikiran, aku pejamkan ebih rapat mataku yang sudah susah terbuka itu dan kucari asal suara penuh kalimat perintah tadi. Samar kudengar suara langkah kaki, tiga, dua, ah…kurasa ada empat langkah anak yang mengikutinya. Iyaitu tadi suara ibu dan anak-anaknya. Kemana mereka hendak pergi? Aku akan memanggil mereka, aku ingin ikut dalam rombongan mereka. Kucoba bersuara tetapi aku sendiri tidak bisa mendengar suaraku. Kutunggu tetapi tida ada yang menyahut, oh…kurasa mereka sudah berjalan menjauhiku.

Aku bingung dengan suara yang berganti di sekitar telingaku. Kadang kudengar suaraku snediri yang berbisik, kadang suaraku yang lantang berteriak pun tak terdengar. Ada suara gemuruh, sesuatu yang terseok, tersapu, kadang jejak langkah diikuti suara lompatan kaki, ketukan benda, suaraku yang melengking parau apakah suara-suara aneh ini? Sudah kubuat semua daun telingaku terbuka sempurna, kudorong otot-otot yang mengumpul di ujung daun telinga menguat menangkap puluhan atau ratusan suara asing yang ada di sekitarku. Sudah kujenjangkan leher sebisa yang aku mampu untuk membuatku menengadah sedikit lebih tinggi sehingga bisa kuraih suara yang mengudara dan akan kukirimkan ke lubang telingaku, tapi kurasa tak ada artinya. Aku tetap tak tahu di mana aku berada, siapa yang ada di dekatku dan yang ada jauh di sana. Aku ingin tahu.

Mungkin sudah empat malam aku di sini. Ini pun aku tak pasti tahu. Bagaimana aku bisa tahu siang dan malam jika mataku susah terbuka. Bagaimana aku tahu siang dan malam jika telingaku tidak mampu memahami apa yang jauh dan dekat. Kugerakkan kakiku, masih ada kekuatan. Aku diam meringkuk lagi. Tidak dingin, kurasa cuaca hangat. Sepertinya ada hangat sinar jatuh di tengkukku, apa itu sinar matahari? Sepertinya saja, kurasa aku salah. Ah aku serba tidak tahu. Kurasakan badanku hangat dari dalam, terkadang rasa dingin seperti es menjalar cepat dari ujung kuku kaki sampai ke telinga, biasanya aku menangis jika campuran rasa panas dan dingin ini datang.
Aku rindu ibuku. Ibu biasanya mengajakku tidur bersama, aku bisa menyusu nikmat air susunya, aku bisa mengendus bau tubuhnya yang tidak pernah kutemukan lagi. Aku memang sudah bisa berjalan tertatih dan sering menjauh ketika ibu mendekatiku. Ibu tidak pernah memaksaku minum air susunya. Aku minum semauku, berbeda dengan saudaraku yang selalu meneguk banyak-banyak air susu ibu. Aku masih ingat waktu itu. Hal terakhir yang kuingat aku yang paling kurus dari anak ibu lainnya. Empat minggu waktu menyusu sepenuhnya dikuasai oleh saudaraku yang rakus, tapi aku tetap kuat dan sehat. Ibu selalu senang melihatku, aku yakin itu. Ibu selalu penuh kasih padaku. Ibu sayang semua anaknya tapi menurutku ibu paling sayang padaku.

Aku tertunduk lesu. Lapar. Sedih terutama, mengingat ibu aku makin sedih. Kurasa ibu paling sayang padaku tetapi mengapa aku sendirian di sini. Kurasa aku menangis, tetapi air mata itu tidak terasa membasahi mataku. Aku membawa kotoran menjijikkan itu menggantung di mataku selama aku ada di sini. Samar bisa kulihat kaki-kakiku, tapi bisa jadi aku salah juga. Mungkin yang kulihat lantai putih sama seperti ubin tempatku tinggal dulu. Perut melilit ini terkadang membuatku cepat lupa apa yang kupikirkan, bisa juga membuatku memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Aku jadi teringat hangatnya pelukan ibu dan berganti menjadi kegeraman hati mengapa aku tertinggal sendirian di sini tanpa ibu dan saudaraku. Ketika pikiranku telanjur sibuk mereka dan membuat kesimpulan tiba-tiba sesuatu menyengat mengejutkanku sampai kepalaku bergetar hebat. Pedih yang aneh seperti ribuan semut menggigit bersamaan di kedua bola mataku.

Tuhan, apa ini? Aku meraung sambil menggoyangkan kepala bermaksud membuat kotoran tebal di kedua mataku rontok, kubayangkan bagaimana biasanya aku menepis semut dari tubuhku, sekarang harus kutepis kuat-kuat maka kugoyangkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Aku makin pusing karena lambung kosong tanpa sari pati makanan, kesedihan, kebingungan, dan kemarahan bercampur menjadi ketakutan kuat. Aku menjerit memanggil dan marah sekaligus pada ibu. Kecamuk hati dan raga ini ternyata hanya membuatku makin lemah dan tak ada daya.

Aku tertidur.

Aku melihat ada semburan warna berjajar melengkung indah sekali menghiasi langit. Aku terkejut ketika ada lengan ibu merangkulku. Aku hafal lengan dan bau ibu. Akhirnya ibu datang, hore. Ibu duduk bersamaku masih melingkarkan lengannya di badanku. Hangat rasanya. Aku tidak lagi merasakan sakit di mataku. Rombongan kuman dan debu yang bersekongkol menjadi gumpalan di mataku sudah hilang, ibu membersihkannya untukku. Oh ibu, betapa aku menyayanginya. Kupandang wajah ibu yang cantik, kutanyakan kalimat yang sama sejak ia mulai menghangatkanku dengan pelukannya, mengapa ia meninggalkanku. Ia tak menjawab. Aku menunggu dan bertanya lagi tapi ia tak menjawab. Mungkin ibu memang merahasiakannya, tak mengapa, kita semua punya rahasia. Maka tetap kupandangi warna-warna di langit itu.

Aku tertidur lagi di pelukan ibu. Kurasakan bau ibu makin hilang dan berganti bau yang akrab juga untukku. Aku tak peduli, yang penting ada ibu. Tidurku nyenyak sampai aku terbangun karena badanku basah. Aku terkejut mengapa ibu memandikanku, tetap tidak bisa jelas kulihat ada apa sebenarnya tetapi aku langsung saja menggeser pantat. Kaki kugerakkan malas sampai aku berpindah tempat mungkin hanya sehasta saja dari tempat awal. Bau ibu sudah hilang dan bau tempat ini tercium lagi. Ah sudahlah, aku harus tenang sekarang. Ibu sudah ada di sini.

Suara gemuruh terdengar jelas. Ibu diam saja dan yang ribut malah suara air bergolak menghantam dinding. Ah! Air! Cepat-cepat aku bangun lagi, angkat kaki dari situ dan perlahan menggeser badan mungkin beberapa hasta ke sisi kanan tubuhku. Aku sadar, aku masih terjebak di tempat yang sama. Tidak ada ibu, tidak ada kehangatan, tidak ada wangi tubuh ibu, hanya bau menyengat lumpur dan sampah yang kucium.

Mengapa aku masih terjebak di sini? Aku menangis lagi, kali ini kutambah raungan yang paling kencang yang pernah kubuat. Suaraku harus mengalahkan gelontoran air yang mulai membasahi kakiku di sini. Semuanya kabur, samar, dan berbau tetapi aku harus memanggil ibu lagi. Kali ini harus lebih lantang daripada yang pernah kuteriakkan, harus. Aku terus meronta lewat suara yang melengking, memekik menggema penuh nelangsa, sampai kurasakan dingin lembab menabrak tubuhku dan sungguh busuk berbau. Apa ini?

(bersambung)

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6 

No comments:

Post a Comment

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...