“Ayo jalan
cepat, jangan saling dorong. Jalan cepat tapi teratur. Ya, begitu. Ayo cepat!”
Aku mendengar
seorang yang usianya mungkin sama dengan ibu berseru pada yang lain untuk
berjalan cepat. Mungkin pada anak-anaknya. Aku pusatkan pikiran, aku pejamkan
ebih rapat mataku yang sudah susah terbuka itu dan kucari asal suara penuh
kalimat perintah tadi. Samar kudengar suara langkah kaki, tiga, dua, ah…kurasa
ada empat langkah anak yang mengikutinya. Iyaitu tadi suara ibu dan
anak-anaknya. Kemana mereka hendak pergi? Aku akan memanggil mereka, aku ingin
ikut dalam rombongan mereka. Kucoba bersuara tetapi aku sendiri tidak bisa
mendengar suaraku. Kutunggu tetapi tida ada yang menyahut, oh…kurasa mereka
sudah berjalan menjauhiku.
Aku bingung
dengan suara yang berganti di sekitar telingaku. Kadang kudengar suaraku
snediri yang berbisik, kadang suaraku yang lantang berteriak pun tak terdengar.
Ada suara gemuruh, sesuatu yang terseok, tersapu, kadang jejak langkah diikuti
suara lompatan kaki, ketukan benda, suaraku yang melengking parau apakah
suara-suara aneh ini? Sudah kubuat semua daun telingaku terbuka sempurna,
kudorong otot-otot yang mengumpul di ujung daun telinga menguat menangkap
puluhan atau ratusan suara asing yang ada di sekitarku. Sudah kujenjangkan
leher sebisa yang aku mampu untuk membuatku menengadah sedikit lebih tinggi
sehingga bisa kuraih suara yang mengudara dan akan kukirimkan ke lubang
telingaku, tapi kurasa tak ada artinya. Aku tetap tak tahu di mana aku berada,
siapa yang ada di dekatku dan yang ada jauh di sana. Aku ingin tahu.
Mungkin sudah empat
malam aku di sini. Ini pun aku tak pasti tahu. Bagaimana aku bisa tahu siang
dan malam jika mataku susah terbuka. Bagaimana aku tahu siang dan malam jika
telingaku tidak mampu memahami apa yang jauh dan dekat. Kugerakkan kakiku,
masih ada kekuatan. Aku diam meringkuk lagi. Tidak dingin, kurasa cuaca hangat.
Sepertinya ada hangat sinar jatuh di tengkukku, apa itu sinar matahari?
Sepertinya saja, kurasa aku salah. Ah aku serba tidak tahu. Kurasakan badanku
hangat dari dalam, terkadang rasa dingin seperti es menjalar cepat dari ujung
kuku kaki sampai ke telinga, biasanya aku menangis jika campuran rasa panas dan
dingin ini datang.
Aku rindu ibuku.
Ibu biasanya mengajakku tidur bersama, aku bisa menyusu nikmat air susunya, aku
bisa mengendus bau tubuhnya yang tidak pernah kutemukan lagi. Aku memang sudah
bisa berjalan tertatih dan sering menjauh ketika ibu mendekatiku. Ibu tidak
pernah memaksaku minum air susunya. Aku minum semauku, berbeda dengan saudaraku
yang selalu meneguk banyak-banyak air susu ibu. Aku masih ingat waktu itu. Hal
terakhir yang kuingat aku yang paling kurus dari anak ibu lainnya. Empat minggu
waktu menyusu sepenuhnya dikuasai oleh saudaraku yang rakus, tapi aku tetap
kuat dan sehat. Ibu selalu senang melihatku, aku yakin itu. Ibu selalu penuh
kasih padaku. Ibu sayang semua anaknya tapi menurutku ibu paling sayang padaku.
Aku tertunduk
lesu. Lapar. Sedih terutama, mengingat ibu aku makin sedih. Kurasa ibu paling
sayang padaku tetapi mengapa aku sendirian di sini. Kurasa aku menangis, tetapi
air mata itu tidak terasa membasahi mataku. Aku membawa kotoran menjijikkan itu
menggantung di mataku selama aku ada di sini. Samar bisa kulihat kaki-kakiku,
tapi bisa jadi aku salah juga. Mungkin yang kulihat lantai putih sama seperti
ubin tempatku tinggal dulu. Perut melilit ini terkadang membuatku cepat lupa
apa yang kupikirkan, bisa juga membuatku memikirkan hal-hal yang tidak-tidak.
Aku jadi teringat hangatnya pelukan ibu dan berganti menjadi kegeraman hati
mengapa aku tertinggal sendirian di sini tanpa ibu dan saudaraku. Ketika
pikiranku telanjur sibuk mereka dan membuat kesimpulan tiba-tiba sesuatu
menyengat mengejutkanku sampai kepalaku bergetar hebat. Pedih yang aneh seperti
ribuan semut menggigit bersamaan di kedua bola mataku.
Tuhan, apa ini?
Aku meraung sambil menggoyangkan kepala bermaksud membuat kotoran tebal di
kedua mataku rontok, kubayangkan bagaimana biasanya aku menepis semut dari
tubuhku, sekarang harus kutepis kuat-kuat maka kugoyangkan kepalaku ke kiri dan
ke kanan. Aku makin pusing karena lambung kosong tanpa sari pati makanan,
kesedihan, kebingungan, dan kemarahan bercampur menjadi ketakutan kuat. Aku
menjerit memanggil dan marah sekaligus pada ibu. Kecamuk hati dan raga ini
ternyata hanya membuatku makin lemah dan tak ada daya.
Aku tertidur.
Aku melihat ada
semburan warna berjajar melengkung indah sekali menghiasi langit. Aku terkejut
ketika ada lengan ibu merangkulku. Aku hafal lengan dan bau ibu. Akhirnya ibu
datang, hore. Ibu duduk bersamaku masih melingkarkan lengannya di badanku.
Hangat rasanya. Aku tidak lagi merasakan sakit di mataku. Rombongan kuman dan
debu yang bersekongkol menjadi gumpalan di mataku sudah hilang, ibu
membersihkannya untukku. Oh ibu, betapa aku menyayanginya. Kupandang wajah ibu
yang cantik, kutanyakan kalimat yang sama sejak ia mulai menghangatkanku dengan
pelukannya, mengapa ia meninggalkanku. Ia tak menjawab. Aku menunggu dan
bertanya lagi tapi ia tak menjawab. Mungkin ibu memang merahasiakannya, tak
mengapa, kita semua punya rahasia. Maka tetap kupandangi warna-warna di langit
itu.
Aku tertidur
lagi di pelukan ibu. Kurasakan bau ibu makin hilang dan berganti bau yang akrab
juga untukku. Aku tak peduli, yang penting ada ibu. Tidurku nyenyak sampai aku
terbangun karena badanku basah. Aku terkejut mengapa ibu memandikanku, tetap
tidak bisa jelas kulihat ada apa sebenarnya tetapi aku langsung saja menggeser
pantat. Kaki kugerakkan malas sampai aku berpindah tempat mungkin hanya sehasta
saja dari tempat awal. Bau ibu sudah hilang dan bau tempat ini tercium lagi. Ah
sudahlah, aku harus tenang sekarang. Ibu sudah ada di sini.
Suara gemuruh
terdengar jelas. Ibu diam saja dan yang ribut malah suara air bergolak
menghantam dinding. Ah! Air! Cepat-cepat aku bangun lagi, angkat kaki dari situ
dan perlahan menggeser badan mungkin beberapa hasta ke sisi kanan tubuhku. Aku
sadar, aku masih terjebak di tempat yang sama. Tidak ada ibu, tidak ada
kehangatan, tidak ada wangi tubuh ibu, hanya bau menyengat lumpur dan sampah
yang kucium.
Mengapa aku
masih terjebak di sini? Aku menangis lagi, kali ini kutambah raungan yang
paling kencang yang pernah kubuat. Suaraku harus mengalahkan gelontoran air
yang mulai membasahi kakiku di sini. Semuanya kabur, samar, dan berbau tetapi
aku harus memanggil ibu lagi. Kali ini harus lebih lantang daripada yang pernah
kuteriakkan, harus. Aku terus meronta lewat suara yang melengking, memekik
menggema penuh nelangsa, sampai kurasakan dingin lembab menabrak tubuhku dan
sungguh busuk berbau. Apa ini?
(bersambung)
(bersambung)
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
No comments:
Post a Comment