Jika ditelisik lebih dalam lagi, banyak sisi menarik yang bisa digali dan dikuak dari Surabaya. Walaupun Surabaya
kota industri dengan banyak mall dan
pusat perbelanjaan yang bertebaran di hampir semua sudut kota, ada hal yang
bisa kita nikmati dari kota ini. Aneka
lanskap kota, sejarah kota, dan orang-orangnya menjadi hiburan tersendiri jika
kita bisa menangkap keunikannya.Tidak melulu bersantai hanya dilakukan di
tempat-tempat keramaian, gunung, pantai dan lainnya.
Salah satu kegiatan pelesiur sederhana yang menantang dan
unik adalah dengan berjalan kaki menjelajah kota pahlawan. Saya salah satu yang
pernah menikmati pelesir nyeleneh ini. Adalah sebuah kegiatan yang dinamai
Kalimas On Feet dilakukan oleh pegiat sejarah Dhahana Adi, akrab dipanggil Mas
Ipung mengajak masyarakat umum di tahun 2013 lalu. Sesuai nama, saya berekreasi
menyusuri Sungai Kalimas dan menyelami jantung kota dengan berjalan kaki. Bersama
beberapa teman baru, saya bertemu di Taman Bungkul, taman cantik yang dibangun
dengan keseriusan dan berbuah banyak penghargaan. Kami menyusuri Sungai Kalimas
dari hulu ke hilir berjalan kaki, on feet.
Karena hulu Kalimas ada di Mojokerto kami ambil start dari Taman Bungkul
berjalan ke arah Jalan Darmokali dan terus masuk ke dalam gang padat penduduk
sampai kami menemukan Sungai Kalimas di daerah Ngagel.
Sungai Kalimas dipilih sebagai jalur pelesir kami karena dulu sungai ini adalah jalur perdagangan
utama. Sungai yang membelah kota Surabaya ini adalah sungai penting pada
jamannya yang menghubungkan pelabuhan Kalimas dan nadi perdagangan kota. Siapa
yang menyangka sungai yang sekarang berbatasan dengan pemukiman padat penduduk
di bantaran kalinya adalah sungai yang sudah dipakai sebagai jalur masuk ke
ibukota Kerajaan Majapahit di Trowulan. Bahkan menurut catatan sejarah di
sungai ini terjadi pertempuran antara Raden Wijaya, pendiri Majapahit melawan
pasukan Tartar dari Mongol sekitar abad ke 11.
Pada masa penjajahan Belanda, di bawah VOC sungai ini
membawa aneka komoditas perdagangan, pertanian, dan hasil bumi lainnya dari
pelabuhan Kalimas,, melewati wilayah pecinan, kampung arab menuju ke pusat kota
dan pusat pemerintahan. Pada masa kini sungai ini sudah dilupakan cerita dan
keberadaannya oleh warganya sendiri. Rumah warga berjarak hanya sekitar 5 meter
dari Kalimas. Ini pun sudah jauh lebih baik daripada dulu kala ketika sungai
ini kotor tak terawatt. Melalui elesiran kali ini saya jmenjadi peserta yang
ingin mengingat kembali sejarah kota sambil bersantai, mencari keunikan dan
cerita kota serta menikmati udara pagi Surabaya.
Hari itu, Minggu pagi sekitar jam 9 pagi saya sampai di
daerah Keputran. Hiruk pikuk pedagang Pasar Keputran mulai berkurang. Yang
tetap ada bau sampah menyengat yang menemani saya menghela napas sejenak di
taman kecil tepat di pinggir Kalimas di persimpangan Jalan Kayoon – Jalan
Gubeng. Menyeberangi jembatan Gubeng saya mendapati gjalan kecil yang disebut
gang Pattaya oleh masyarakat karena terkenal sebagai tempat berkumpul para gay.
Saat itu dinding-dinding belakang bangunan yang memunggungi sungai penuh
gambar, coretan, ratapan, makian, dan juga nomer HP para gay. Jalan kecil ini
saya susuri terus sampai mengarah ke jembatan Gubeng dekat Monkasel. Ada
pemancing ikan dengan kail, jala, dan ada juga yang hanya sekedar duduk-duduk
santai.
Terus berjalan di bawah matahari yang mulai terik saya melewati
Taman Prestasi. Ada sampan wisata yang bisa dinaiki di taman ini menyusuri
Sungai Kalimas sampai ke arah Ketabang Kali. Saya dan teman-teman lainnya
memilih untuk berjalan. Saya temukan patok pembatas kecamatan di pinggir jalan
sebagai penanda sudah saya lewati kecamatan satu masuk ke kecamatan lain. Yang
paling menarik bagi saya adalah kawasan kota tua nya Surabaya. Memasuki wilayah
Krembangan saya melihat gedung-gedung tua colonial dengan lebih seksama.
Sejarah mencatat gedung Polrestabes punya terowongan yang terhubung dengan
penjara Kalisosok di kawasan JMP. Gedung besar di kiri kanan dekat kawasan
Jembatan Merah adalah peninggalan bersejarah yang masuk dalam bangunan cagar
budaya.
Menyeberangi Jembatan Merah masuk ke Jalan Panggung saya
mengarah pada gudang-gudang tua yang membisu dimakan usia. Debu-debu dan jalan
yang bergelombang penuh dengan truk terparkir rapi. Di bangunan ini ramai
dipakai untuk foto pre-wedding, sayang banyak yang mungkin hanya berfoto tapi
melewatkan cerita kejayaan wilayah yang sekarang sepi ini.
Masih ada bekas rel di depan barisan gedung dan gudang tua
yang berdiri gagah menghadap aliran Kalimas. Di ujung jalan ada Jembatan
Petekan yang jadi jembatan satu-satunya yang bisa membuka bagian bawahnya
ketika kapal masuk. Ah siapa sangka dulu kapal-kapal besar pembawa hasil bumi
melalui jembatan yang kini jadi kaki tua reyot berkarat di pinggir jalan raya
yang tingginya sudah hampir separuh badan jembatan. Sayapun baru melihat
jembatan itu, tidak pernah saya tahu jembatan itu sudah ada jauh sebelum kota
ini mempercantik diri dalam moderenisasi.
Dengan sisa-sisa tenaga dan panas matahair yang smeakin
menyengat saya mengatur nafas kembali dan melaraskam langkah kaki yang gontai.
Saya mau mencapai tujuan akhir saya, pelabuhan Kalimas. Pelabuhan ini pun
sekarang lalu lintas hilir mudiknya sudah hilang digantikan oleh Pelabuhan
Tanjung Perak. Semakin asing ujung kota
ini bagi saya. Yang ada hanyalah gudang-gudang dengan nama PT ini itu yang
dipenuhi truk-truk besar. Tidak ada rumah penduduk terlihat. Gersang dengan
warung-warung kecil dan tukang tambal ban berceceran. Inikah akhir pusat geliat
warga Surabaya? Nampaknya memang seperti itu. Kawasan ini tidak bersahabat
untuk pemukim, cocok untuk berniaga dan berekspedisi kirimmengirim barang.
Toh tujuan tercapai. Dengan usaha keinginan terpenuhi. Usaha
untuk berjalan kaki, melawan panas, merancang tak memaknai semua detil
kehidupan kota yang saya susuri. Perjalanan saya terhenti di pelabuhan
tradisional Kalimas. Saat itu sekitar jam 1 siang. Pelabuhan yang dipunggungi
rumah sakit pelabuhan ini bertembok tinggi tak Nampak pelabuhan dari luar. Rasa
puas melawan lelah kaki dan kekaguman akan cerita kota membawa saya pada
perasaan campur aduk. Apalagi saat saya benar-benar melihat eprahu tradisional.
Yang punya layar, yang badannya dari kayu bukan badan besi, yang berhenti entah
dalam perbaikan atau sudah lelah berlayar. Saya puas. Saya benar-benar sampai
di pelabuhan. Tempat semua perasaan saya dalam pelesir ini berlabuh. Capek tapi
puas.
Saya sudah menangkap cerita kota dalam lensa pandang saya.
Inilah wajah kota dan manusianya. Hidup dalam rutinitas hari Minggu yang tidak
biasa. Jika hanya dimaknai sebagai kehidupan biasanya orang biasa maka tidak
ada menariknya pelesiran saya. Tapi saya mencoba memahaminya sebagai sebuah
wisata manusia kota dan sejarahnya. Ada selalu hal menarik mata, hidung, dan
batin saya. Ada rumah-rumah dengan pompa air tangan jadul di depan rumah yang
sekarang sudah jarang ditemui. Ada perahu tambang yang menyeberangkan kami
dengan 2000 Rupiah per orang dari jalan kampung ke arah Ngagel, dekat hotel
Novotel. Ada tempat yang akrab disebut BAT oleh warga, yang dulunya kantor British American Tobacco. Ada
nelayan pencari ikan sapu-sapu dalam sampan-sampan kecilnya, ada anak muda
pamer skill berdiri seimbang di papan skateboard, ada cerita kota tua pecinan,
daerah gay, taman mesum yang jadi taman keluarga, dan banyak cerita lainnya.
Wajah kota pun terus berganti sejalan dengan langkah kaki kami.Betapa menarik
kehidupan masyarakat kota berubah wajah hanya dari bentuk bangunan, pilihan coretan
mural, pilihan warna tembok rumah, dan nama jalan. Kaya, sungguh kaya warga
kota ini akan kemajemukan dalam segala aspek kehidupan.
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
No comments:
Post a Comment