Sunday, September 9, 2018

Kalimas dalam Langkah Kaki, Menikmati Wajah Kota Tercinta




Jika ditelisik lebih dalam lagi, banyak sisi menarik yang bisa digali dan dikuak dari Surabaya. Walaupun Surabaya kota industri dengan banyak mall  dan pusat perbelanjaan yang bertebaran di hampir semua sudut kota, ada hal yang bisa kita nikmati dari kota ini.  Aneka lanskap kota, sejarah kota, dan orang-orangnya menjadi hiburan tersendiri jika kita bisa menangkap keunikannya.Tidak melulu bersantai hanya dilakukan di tempat-tempat keramaian, gunung, pantai dan lainnya.

Salah satu kegiatan pelesiur sederhana yang menantang dan unik adalah dengan berjalan kaki menjelajah kota pahlawan. Saya salah satu yang pernah menikmati pelesir nyeleneh ini. Adalah sebuah kegiatan yang dinamai Kalimas On Feet dilakukan oleh pegiat sejarah Dhahana Adi, akrab dipanggil Mas Ipung mengajak masyarakat umum di tahun 2013 lalu. Sesuai nama, saya berekreasi menyusuri Sungai Kalimas dan menyelami jantung kota dengan berjalan kaki. Bersama beberapa teman baru, saya bertemu di Taman Bungkul, taman cantik yang dibangun dengan keseriusan dan berbuah banyak penghargaan. Kami menyusuri Sungai Kalimas dari hulu ke hilir berjalan kaki, on feet. Karena hulu Kalimas ada di Mojokerto kami ambil start dari Taman Bungkul berjalan ke arah Jalan Darmokali dan terus masuk ke dalam gang padat penduduk sampai kami menemukan Sungai Kalimas di daerah Ngagel.

Sungai Kalimas dipilih sebagai jalur pelesir kami  karena dulu sungai ini adalah jalur perdagangan utama. Sungai yang membelah kota Surabaya ini adalah sungai penting pada jamannya yang menghubungkan pelabuhan Kalimas dan nadi perdagangan kota. Siapa yang menyangka sungai yang sekarang berbatasan dengan pemukiman padat penduduk di bantaran kalinya adalah sungai yang sudah dipakai sebagai jalur masuk ke ibukota Kerajaan Majapahit di Trowulan. Bahkan menurut catatan sejarah di sungai ini terjadi pertempuran antara Raden Wijaya, pendiri Majapahit melawan pasukan Tartar dari Mongol sekitar abad ke 11.

Pada masa penjajahan Belanda, di bawah VOC sungai ini membawa aneka komoditas perdagangan, pertanian, dan hasil bumi lainnya dari pelabuhan Kalimas,, melewati wilayah pecinan, kampung arab menuju ke pusat kota dan pusat pemerintahan. Pada masa kini sungai ini sudah dilupakan cerita dan keberadaannya oleh warganya sendiri. Rumah warga berjarak hanya sekitar 5 meter dari Kalimas. Ini pun sudah jauh lebih baik daripada dulu kala ketika sungai ini kotor tak terawatt. Melalui elesiran kali ini saya jmenjadi peserta yang ingin mengingat kembali sejarah kota sambil bersantai, mencari keunikan dan cerita kota serta menikmati udara pagi Surabaya.

Hari itu, Minggu pagi sekitar jam 9 pagi saya sampai di daerah Keputran. Hiruk pikuk pedagang Pasar Keputran mulai berkurang. Yang tetap ada bau sampah menyengat yang menemani saya menghela napas sejenak di taman kecil tepat di pinggir Kalimas di persimpangan Jalan Kayoon – Jalan Gubeng. Menyeberangi jembatan Gubeng saya mendapati gjalan kecil yang disebut gang Pattaya oleh masyarakat karena terkenal sebagai tempat berkumpul para gay. Saat itu dinding-dinding belakang bangunan yang memunggungi sungai penuh gambar, coretan, ratapan, makian, dan juga nomer HP para gay. Jalan kecil ini saya susuri terus sampai mengarah ke jembatan Gubeng dekat Monkasel. Ada pemancing ikan dengan kail, jala, dan ada juga yang hanya sekedar duduk-duduk santai.

Terus berjalan di bawah matahari yang mulai terik saya melewati Taman Prestasi. Ada sampan wisata yang bisa dinaiki di taman ini menyusuri Sungai Kalimas sampai ke arah Ketabang Kali. Saya dan teman-teman lainnya memilih untuk berjalan. Saya temukan patok pembatas kecamatan di pinggir jalan sebagai penanda sudah saya lewati kecamatan satu masuk ke kecamatan lain. Yang paling menarik bagi saya adalah kawasan kota tua nya Surabaya. Memasuki wilayah Krembangan saya melihat gedung-gedung tua colonial dengan lebih seksama. Sejarah mencatat gedung Polrestabes punya terowongan yang terhubung dengan penjara Kalisosok di kawasan JMP. Gedung besar di kiri kanan dekat kawasan Jembatan Merah adalah peninggalan bersejarah yang masuk dalam bangunan cagar budaya.

Menyeberangi Jembatan Merah masuk ke Jalan Panggung saya mengarah pada gudang-gudang tua yang membisu dimakan usia. Debu-debu dan jalan yang bergelombang penuh dengan truk terparkir rapi. Di bangunan ini ramai dipakai untuk foto pre-wedding, sayang banyak yang mungkin hanya berfoto tapi melewatkan cerita kejayaan wilayah yang sekarang sepi ini.

Masih ada bekas rel di depan barisan gedung dan gudang tua yang berdiri gagah menghadap aliran Kalimas. Di ujung jalan ada Jembatan Petekan yang jadi jembatan satu-satunya yang bisa membuka bagian bawahnya ketika kapal masuk. Ah siapa sangka dulu kapal-kapal besar pembawa hasil bumi melalui jembatan yang kini jadi kaki tua reyot berkarat di pinggir jalan raya yang tingginya sudah hampir separuh badan jembatan. Sayapun baru melihat jembatan itu, tidak pernah saya tahu jembatan itu sudah ada jauh sebelum kota ini mempercantik diri dalam moderenisasi.

Dengan sisa-sisa tenaga dan panas matahair yang smeakin menyengat saya mengatur nafas kembali dan melaraskam langkah kaki yang gontai. Saya mau mencapai tujuan akhir saya, pelabuhan Kalimas. Pelabuhan ini pun sekarang lalu lintas hilir mudiknya sudah hilang digantikan oleh Pelabuhan Tanjung Perak.  Semakin asing ujung kota ini bagi saya. Yang ada hanyalah gudang-gudang dengan nama PT ini itu yang dipenuhi truk-truk besar. Tidak ada rumah penduduk terlihat. Gersang dengan warung-warung kecil dan tukang tambal ban berceceran. Inikah akhir pusat geliat warga Surabaya? Nampaknya memang seperti itu. Kawasan ini tidak bersahabat untuk pemukim, cocok untuk berniaga dan berekspedisi kirimmengirim barang.

Toh tujuan tercapai. Dengan usaha keinginan terpenuhi. Usaha untuk berjalan kaki, melawan panas, merancang tak memaknai semua detil kehidupan kota yang saya susuri. Perjalanan saya terhenti di pelabuhan tradisional Kalimas. Saat itu sekitar jam 1 siang. Pelabuhan yang dipunggungi rumah sakit pelabuhan ini bertembok tinggi tak Nampak pelabuhan dari luar. Rasa puas melawan lelah kaki dan kekaguman akan cerita kota membawa saya pada perasaan campur aduk. Apalagi saat saya benar-benar melihat eprahu tradisional. Yang punya layar, yang badannya dari kayu bukan badan besi, yang berhenti entah dalam perbaikan atau sudah lelah berlayar. Saya puas. Saya benar-benar sampai di pelabuhan. Tempat semua perasaan saya dalam pelesir ini berlabuh. Capek tapi puas.

Saya sudah menangkap cerita kota dalam lensa pandang saya. Inilah wajah kota dan manusianya. Hidup dalam rutinitas hari Minggu yang tidak biasa. Jika hanya dimaknai sebagai kehidupan biasanya orang biasa maka tidak ada menariknya pelesiran saya. Tapi saya mencoba memahaminya sebagai sebuah wisata manusia kota dan sejarahnya. Ada selalu hal menarik mata, hidung, dan batin saya. Ada rumah-rumah dengan pompa air tangan jadul di depan rumah yang sekarang sudah jarang ditemui. Ada perahu tambang yang menyeberangkan kami dengan 2000 Rupiah per orang dari jalan kampung ke arah Ngagel, dekat hotel Novotel. Ada tempat yang akrab disebut BAT oleh warga, yang  dulunya kantor British American Tobacco. Ada nelayan pencari ikan sapu-sapu dalam sampan-sampan kecilnya, ada anak muda pamer skill berdiri seimbang di papan skateboard, ada cerita kota tua pecinan, daerah gay, taman mesum yang jadi taman keluarga, dan banyak cerita lainnya. 

Wajah kota pun terus berganti sejalan dengan langkah kaki kami.Betapa menarik kehidupan masyarakat kota berubah wajah hanya dari bentuk bangunan, pilihan coretan mural, pilihan warna tembok rumah, dan nama jalan. Kaya, sungguh kaya warga kota ini akan kemajemukan dalam segala aspek kehidupan.


#komunitasonedayonepost
#ODOP_6 


No comments:

Post a Comment

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...