Sunday, October 28, 2018

Memori

sumber: Photo by Matthias Zomer from Pexels



“Bu, ayo makan.”aku mengajak ibuku makan.

“Nggak mau. Sudah. Pergi. Sana pergi!” hardik ibu padaku.

“Ibu belum makan. Sudah waktunya makan malam ini bu. Dari tadi ibu belum makan.”aku mulai meninggikan nada suaraku. Aku memaksanya makan. Kusorongkan sendok penuh isi nasi, sayur labu siam dan sesuwir ayam goreng ke mulut ibu yang rebahan di ranjang.

“Nggak mau!” Ibu menjerit dan menepis keras tanganku sehingga sendok terpental jatuh ke lantai dengan nasi, sayur, dan lauknya berhamburan.

Aku beranjak pergi dan dengan kesal kulempar piring ke dekat ember penuh air untuk menyuci piring. Prang…piring itu pecah dua keping di lantai. Aku membuka pintu depan rumahku dan duduk di teras rumah.

Sudah beberapa hari ini ibuku malas makan. Setiap ditanya jawabnya sudah makan, padahal aku tahu ibu belum makan. Ibu hanya tidur dan terus tidur. Kutanya apa yang diinginkan, ibu hanya menjawab tidak mau. Padahal aku belum menawarkan apa-apa.

Semalam lebih parah. Ibu tiba-tiba memanggilku sekitar jam sepuluh malam ketika aku asyik membaca di kamarku. Ibu menanyakan di mana ayah dan Tante Rosida. AKu bilang mereka sudah tiada dan ibu berargumen panjang lebar bahwa mereka datang ke rumah kemarin, mereka masih hidup, aku durhaka mengatakan yang tidak benar, aku pembohong, dan segala macam hal. Tadi pagi ibu masih menanyakan lagi tentang mereka, sampai kubawa surat kematian ayah dan kubacakan keras-keras tulisannya agar ibu mendengar tapi ibu tetap membantah semua fakta jelas itu.

Aku juga mulai jengkel karena ibu di kamar mandi lama sekali. Sejak ibu banyak tidur, ibu sering mandi dengan durasi dua kali lipat dari biasanya dan sering lupa mengancingkan baju. Ada saja kancing yang belum masuk ke lubangnya. Ibu juga sering mengomel tentang sandal kesayangan beliau yang katanya tidak enak dipakai. Padahal letaknya terbalik  sisi kiri dan kanan, pernah juga ibu menginjak sol bagian luar dan diseret saja di dalam rumah.

“Rin! Ibu mau ke rumah Bu Dar.” Ibu keluar dari kamar beliau sudah rapi dengan baju tunik beliau dan celana panjangnya.

“Ibu, jilbabnya dipakai dulu. Aduh…masa lupa sih?” aku berseru mengingatkan. Tumben ibu ingat hari ini ada arisan PKK, pikirku.

Ibu berbalik masuk kamar dan keluar sudah memakai jilbab. Jilbab kemarin lusa yang digantung di belakang pintu kamar dipakai lagi. AH sudahlah, mungkin memang keinginan beliau begitu. Susah berdebat dengan orang tua pikirku lagi.

“Assalamualaikum.” Ibu memunggungiku dan pergi keluar pintu. Kujawab salam ibu sambil meletakkan gelas di atas lemari pendingin dan kemudian berjalan mematikan TV. Setelahnya aku berjalan menghampiri pintu hendak menutup pintu dan ibu sudah tidak terlihat lagi di teras. Dan lagi-lagi pagar rumah tidak ditutup ibu. Ibu pikun sekali.

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Pikun! Otakku berseru membangunkan kesadaranku. Apa ibu mulai pikun? Demensia? Aku membuka gerbang dan menuju ke rumah Bu Dar yang hanya di sebelah rumah. Kucari ibu dan beliau tidak ada, tidak ada yang melihat ibu. Aku membalik badan dan kucari ibu dalam kendaraan yang lalu lalang di depan rumahku. 

Nihil.

Catatan:
Pikun atau demensia adalah penyakit yang mempengaruhi kinerja otak. Baca selengkapnya di sini.




#komunitasonedayonepost
#ODOP_6 

No comments:

Post a Comment

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...