![]() |
sumber: malangtoday.net |
Ketika mencari destinasi wisata terbaik Jawa Timur maka
dengan mudah saya googling dan
ketikkan kata kunci. Bromo pasti masuk sebagai salah hasil pencarian. Lebih tiga
belas tahun setelah berhasil mencapai puncaknya, saya meyakini ini adalah
tempat wisata dengan kenangan paling berkesan. Bukan keindahan si maha tinggi,
tapi kenangan anak dan ibu yang terpintal disana.
Apa yang paling indah dari gunung ini? Pasirnya? Waktu saya
ke sana lautan pasir menghampar. Wajarnya memukau saya, tapi karena datang
terlampau siang dan kembali ke hotel terlalu cepat, jadi bagi saya lautan pasir
yang seharusnya wow itu jadi biasa saja.
Kawah gunung yang indah harusnya jadi salah satu pesona.
Saya pikir juga begitu, tapi ketika saya naik ke puncak, ya terlihat seperti
kawah saja. Saya mengharapkan sesuatu yang lebih. Mungkin saya naik ke puncak
yang salah, atau saya melewatkan upacara Kasada yang termasyur itu sehingga
kawah tak ubahnya ceruk besar dengan asap yang sedikit mengepul.
Sunrise? Oh saya
tidak melihatnya. Matahari sudah tinggi dan saya lupa keindahan apa yang
berbekas dari sang surya. Saya meninggalkan hotel hampir jam enam pagi.
Matahari sudah muncul dan tentu saja the
sun has risen, matahari telah terbit.
Perjalanan melewati lekuk dataran tinggi sampai ke Gunung
Bromo wajibnya indah. Saya tak terlalu menikmati karena jantung berdebar takut
melewatkan matahari terbit. Akhir cerita saya memang pengunjung yang datang
terlambat. Jalanan yang indah jadi biasa saja tak istimewa. Oh ya, sehari
sebelumnya saya dan rombongan sudah nyasar sampai terlambat dari rombongan lain
tiga jam lamanya. Saya sudah puas naik turun bukit sampai mual. Mungkin karena
ini perjalanan dari hotel ke Bromo jadi biasa saja, bisa jadi saya terlalu
takut mual lagi.
Bicara tentang mual, kemualan itu justru salah satu yang
indah. Mama membaringkan saya di pangkuan beliau dan memijat leher agar saya
tak mual sore hari sebelum sampai di Bromo. Pasir yang menghampar tak seindah
kekaguman mama akan kuasa Allah yang menaburkan jutaan pasir jadi satu lautan.
Kawah gunung yang jadi penghabisan saya menaiki puluhan anak tangga ke puncak
tak semenantang berkuda dari parkiran mobil ke undakan pertama menuju puncak.
Berkuda bersama mama melewati kerikil dengan kuda yang mendengus jauh lebih
menarik.
Oh ya, tentang sunrisenya?
Tak sehangat kala saya menikmati sarapan di hotel sesudah perjalanan super
singkat ke Bromo sambil menghirup teh panas. Dibandingkan kemolekan sang gunung
yang angkuh berdiri dihujani decakan kagum pengunjung, semua masa yang saya
habiskan bersama mama adalah yang paling indah.
Tiga belas tahun dan saya masih mengingat dengan baik apa
yang kami lakukan berdua di sana. Bukan gunung dan segoro wedi (1) yang membekas di memori, tapi perjalanan singkat
saya dan mama menuju Bromo, menghadiri kawinan sepupu yang dimantu lurah desa di kaki
Bromo, dan cerita-cerita antara kami berdua di bus dan mobil sewaan dari
Mojokerto, Tulungagung, dan Probolinggo.
Kenangan itu adalah liburan terakhir bersama mama. Kenangan paling indah, perjalanan wisata mama di bumi yang peghabisan. Jika saya
bisa kembali ke masa itu, bukan Bromo yang saya perlukan. Cukup tidur
bersebelahan sambil memijat mama sepanjang malam.
(1) lautan pasir