Sunday, March 10, 2019

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html




“Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.”

“Aku tak yakin perlu atau tidak aku bertukar cerita padamu. Aku terlalu sibuk memikirkan tentang masa depan. Tidakkah kau punya hal lain untuk dikerjakan?” kuusir sosok pengganggu yang duduk tenang di sampingku.

“Ah, kau hanya memikirkan tentang hal yang sudah tidak bisa berganti. Sudah mutlak. Percuma kau pikirkan itu. Lagipula siapa yang bisa memperkirakan masa depan? Manusia tak punya kekuatan untuk mengubah apa yang sudah digariskan, sudah tertulis di buku kehidupan. Diberitahu pun manusia terlalu bodoh untuk membuat persiapannya. Manusia terlatih untuk menyesali masa lalu. Itu  sudah paten, manusia memang pandai membuat hatinya gundah karena masa lalu. Ayolah, kau ceritakan saja apa yang menarik dari masa lalumu. Aku siap mendengarkan.” katanya.

Aku hampir tak bisa mendengar ceramah panjang pengganggu itu sampai selesai. Apa yang dikatakannya memang benar semuanya. Aku terlalu khawatir tentang hal yang berada jauh dari kuasaku, masa depan. Bagaimanapun aku tak biasa bercerita pada orang asing. Apalagi ia datang tiba-tiba ketika aku benar-benar ketakutan dan sedang tidak ingin berbicara apapun karena aku sibuk memikirkan apa yang akan terjadi pada nasibku.

Setelah keheningan yang melintas di antara kami berdua, tepatnya setelah ia selesai membetulkan jubah hitam yang mengganggu posisi duduknya, akhirnya aku menyerah. Lebih baik bercedrita untuk mengusir rasa cemas dan sepiku di sini. Senyampang ada yang menemaniku, tak mengapalah kuceritakan tentang masa laluku.

“Baik, kurasa aku punya sesuatu yang ingin kau dengar.” ujarku.

“Akhirnya! Aku siap mendengarkanmu.” Kulihat sudut mulutnya sedikit terangkat, ia puas aku menyerah pada tawarannya.

“Jadi, dulu aku orang yang merugi.”

“Tahu darimana kau merugi? Pernah kau hitung untung rugimu? Sudah kau timbang dengan baik?” baru satu pernyataan dariku dan ia mematahkannya.

 “Aku rugi karena telah terbuang waktuku yang ternyata amat sangat sedikit ketika akhirnya ibu meninggal. Kupikir saat itu ia hanya sakit biasa, kambuh dan keadaan baik-baik saja di rumah. Tapi ketika ayah memintaku pulang dan aku masih pulang dengan enggan. AKu ingin menghabiskan wkatu lebih banyak di kota S dengan kekasihku. Tapi ternyata ketika aku pulang, keadaan ibu sangat parah. Belum dua jam aku di rumah, ibu sudah dibawa ke kota S untuk dirawat lagi. Aku kembali ke kota S dan sedikit menggerutu, mengapa aku harus pulang jika ternyata ibu dibawa ke kota S, aku tidak perlu bolak-balik kan. Hanya lima hari kemudian ibuku meninggal. Aku menyiak-nyiakan waktu yang bisa kuhabiskan bersamanya, aku merugi.”

“Kau yakin ini cerita yang perlu kudengar? Memang terdengar menyedihkan tapi kurasa kau masih punya hal yang lebih buruk dari ini.” jawabnya enteng.

“Aku pergi pulang dari rumah sakit ke rumah tempatku tinggal di kota S, menjalankan kewajibanku sebagai pekerja seakan semuanya biasa saja seperti hari-hari sebelum ibuku tidur lemah di rumah sakit. Jika aku tahu ibu meninggal setelah lewat hari kelimanya di kota S, aku tak akan meninggalkannya hanya untuk pekerjaanku yang upahnya tak seberapa itu. Aku ingin punya lebih banyak waktu dengannya. Aku merugi.”

“Lalu? Apalagi?” si pengganggu masih ingin tahu.

“Ibu ingin minum sari buah jeruk saat sakit di malam pertamanya di kota S. Tepat ketika aku menghabiskan sari buah di dekat kasurnya dan aku tak bisa membelikannya segelas saja. Sampai sekarang aku masih mengingatny. Hanya karena aku malas mencari penjual sari buah untuk menghilangkan rasa pahit di mulutnya. Aku menyesal dan aku merugi.”

“Hm…menarik. Tapi masih ada yang jauh lebih menarik dari ceritamu itu.” tanggapannya atas ceritaku.

Dan mendengarnya mengatakan hal itu makin membuatku merasakan sesak di dada, seakan banyak beban berusaha menyeruak keluar dan sebaliknya rasa bersalah masuk merayap ke dalam tubuhku. Penyesalanku yang sudah kukubur dengan baik sekarang menjadi dan perlahan berkuasa atas diriku. Semuanya terasa pedih dan menyakitkan.  

“Ibu meninggal dalam usapanku, hanya bersamaku. Di saat ia mengembuskan nafas terakhirnya aku sedang menyeka wajahnya dan aku tak tahu jika tarikan nafas terakhirnya pagi itu adalah penanda jiwanya sudah pergi, hanya raganya yang masih bersamaku. Aku merugi, harusnya aku bangun lebih pagi dan menatap wajahnya lebih lama. Harusnya malam sebelum ia meninggal aku tidak tidur, memijit kaki atau sekedar mengajaknya bicara, aku yakin ibu bisa mendengarku walau ia sudah tak lagi sadar. Aku merugi.”

“Oh ya, aku banyak mendengar cerita penyesalan seperti ini.” Sekali lagi tanggapan dingin meluncur begitu saja dari ucapnya.

Aku makin tertantang untuk menceritakan hal-hal dramatis dari masa laluku padanya, untuk membuatnya lebih iba padaku. Maka kulanjutkan lagi, “Aku dulu tak pernah dekat dengan ayahku. Jarang berbicara dengannya dan tahu-tahu ia lumpuh akibat darah tinggi yang kemudian membuatnya makin sulit bicara. Harusnya aku lebih banyak mengajaknya bererita tentang apapun. Aku adalah darah dagingnya dan tanpanya aku tak ada di dunia. Aku merugi.”

Si pengganggu hanya diam. Maka kupikir aku sudah sedikit mendapat simpatinya. Kuingat lagi hal buruk yang kusesali di masa laluku dan kuceritakan lagi padanya.

“Aku membuang masa mudaku untuk memadu kasih dengan banyak laki-laki. Tak ada yang memberiku cinta sejati, sampai saat ini. Semuanya busuk. Aku membuang waktu untuk hal yang tidak berguna.” Sambil mengatakan empat kalimat ini semakin sedih aku dibuatnya, jauh lebih sedih daripada ketika kuceritakan bagian orang tuaku padanya. Aku merasa sudah menyia-nyiakan waktu hidupku benar-benar untuk hal yang tak berguna. Melakukan hal yang tak disukai kedua orang tuaku, bahkan sejujurnya aku sendiri juga benci mengakui bahwa aku tidak pernah menginginkan seorang pun dari mereka menjadi suamiku.

Si pengganggu sedikit memalingkan sisi wajah sebelah kirinya, ke arahku. Aku tahu aku mulai mengatakan hal yang menarik buatnya, dan kemudian tanpa kusadari kalimat berikutnya meluncur dari bibirku.

“Aku sangat merugi. Kuhabiskan waktuku untuk memuja lelaki, mengejar kehidupan duniawi, menghadiri aneka acara pelesiran yang menguras kantongku tanpa hasil yang berarti, kubuang waktuku untuk bersenang-senang karena aku ingin bahagia di dunia. Aku merugi karena tidak kupakai sedikit waktuku untuk beribadah pada-Nya, memuji nama-Nya, berjalan ke rumah-Nya dan memohon ampunan-Nya. Aku sangat merugi tak bisa menjaga tubuh yang sudah diberikan-Nya padaku, tak bisa menggunakan akal sehatku untuk hal yang baik, dan tak menjaga ucapanku dari hal yang sangat dibenci-Nya. Aku manusia yang merugi!” pekikku tak terkontrol dengan air mata mengucur deras membasahi pipiku.

“Itu yang ingin kudengar. Baguslah jika kau mampu mengingatnya. Semua kini sudah terlambat, jangan sibuk memikirkan apa yang akan terjadi dan tak perlu lagi kau ingat apa yang sudah kau lalui. Semuanya sudah tercatat rapi dan pasti terjadi. Jadi sekarang nikmati saja penyesalanmu dan aku pamit.” Si pengganggu meninggalkanku.

Cepat sekali ia pergi seperti sekelebat bayangan. Aku sendiri lagi di tanah lembab ini. Ragaku kaku terbujur dalam balutan kain mori menunggu siapa lagi yang akan datang dan membuatku nyeri mengingat hidupku di dunia kala itu.  
  


Sunday, February 17, 2019

Perdebatan Sudah Dimulai

https://bit.ly/2Gv3okk



Hari yang kutunggu dan tak kuharapkan sudah terjadi
Tak lama lagi kedua kutub berseberangan itu akan saling adu misi dan visi
Aku berusaha mengencangkan volume lagu pengiring hari
Tapi adzan berkumandang jadi terpaksa volume harus mati
Nanti setelah ini kupilih lagi lagu-lagu pengacak konsentrasi
Agar aku tak terpaku mendengarkan televisi tua yang diisi siaran TVRI
Aku ingat betapa diriku berusaha menghindari peduli pada perdebatan atau dialog tentang dua kubu itu
Tapi tak bisa kubohongi diriku yang selalu membaca linimasa Instagram tentang mereka yang berseteru
Tidak, Instagram tak bohong, apa yang sering kulihat akan sering dimunculkannya tak malu-malu
Dan aku tak henti-hentinya berusaha abai tapi juga ingin tahu
Aku sudha menetapkan pilihanku untuk sibuk dengan urusan persalinanku
Paling tidak aku bisa santai tak merasa bersalah pada nuraniku atau orang-orang di sekitarku
Karena aku, dengan izin-Nya akan melahirkan generasi penerus bangsaku
Biarkan nanti aku sibuk menepuk dan menyusui jabang bayiku
Kuserahkan urusan pemenang jadi pemimpin negara padamu
Nanti tunggu saja apa komentarku
Semoga aku tak seculas itu mengulas pedas mengomentari dengan tak bermutu
Jika yang menang bukan yang kudukung diam-dam dalam hatiku



Rezekiku Tak Semata Pundi Uangku


sumber gambar: https://bit.ly/2IwP6S7


Semua pasti sudah tahu apa itu rezeki, atau ada yang belum tahu? Saya pernah nonton video singkat motivator kondang Merry Riana yang menegaskan bahwa rezeki tidak sama dengan gaji atau uang yang kita dapatkan. Rezeki bukan semata materi tapi rezeki adalah segala kenikmatan yang kita dapatkan yang bisa berwujud macam-macam.

Kesehatan misalnya, itu rezeki. Bayangkan jika Sahabat sakit, maka Sahabat terpaksa mengeluarkan uang bukan? Berkurang uang dan berkurang kenikmatan hidup. Maka kesehatan adalah sebuah rezeki. Begitu juga dengan anak, pasti semua pernah mendengar ungkapan anak adalah rezeki, tapi toh sesering apapun kalimatg itu digaungkan banyak pula jumlah mereka yang menyia-nyiakan anak dan menganggapnya sebagai beban. Kekerasan pada anak apalagi dilakukan oleh orang tua sendiri, bukankah berarti sudah mengabaikan rezeki?

Kali ini saya tak membahas panjang lebar tentang seluk beluk rezeki, cara mendapatkan rezeki dan lain sebagainya tentang menambah rezeki. Saya hanya ingin bercerita tentang rezeki dalam kaca mata saya. Sebagai orang dengan kepribadian INFP yang salah satu cirinya adalah idealis, maka saya pun berpedoman pada idealisme saya sendiri. Saya percaya bahwa berpikir positif akan menghasilkan hal yang positif dan banyak bersyukur akan mendatangkan rezeki. Sebaliknya, membayangkan hal buruk akan menghasilkan hal buruk dan menggerutu tak akan membawa kebahagiaan. Saya tak butuh penjelasan logis untuk hal ini, saya percaya dan itu memang terjadi. Maaf ya, ini memang ciri INFP J

Kembali ke masalah rezeki, bagi saya apapun itu jika membuat hidup saya lebih mudah dan senang ya itu rezeki. Baru saja tetangga mengetuk pintu dan sekotak nasi kuning saya dapatkan, rezeki buat saya. Mandi dengan air mengalir kencang, ah ini juga rezeki karena di rumah kontrakan terdahulu air mengalir tak sekencang sekarang dan kualitas airnya pun buruk. Seminggu ditinggal suami yang sakit tentu bukan hal yang mengenakkan, tapi Alhamdulillah ada rezeki untuk tetap belanja apa yang saya inginkan walaupun suami tak sempat meninggalkan uang belanja dan saya maklum karena keadaannya yang sakit. Dalam kesunyian rumah yang diisi saya dan bapak saya yang stroke pun masih ada rezeki dapat hiburan tendangan dari janin yang saya kandung. Si jabang bayi adalah rezeki yang luar biasa, saya dapatkan cepat tanpa menunggu lama. Nah jika mengingat hal-hal seperti ini apa masih boleh saya mengeluh tentang ini dan itu? Jumlah rezeki yang saya dapatkan jauh lebih besar daripada kesulitan hidup saya.

Adabanyak hal yang bisa saya tuliskan dan mungkin tak cukup waktu sehari untuk menuliskannya tetapi saya ingin menyampaikan bahwa bisa menuliskan postingan ini pun sebuah rezeki. Tanpa kemampuan menulis, tanpa punya laptop, tanpa punya ponsel, tanpa ada listrik, tanpa ada indera penglihatan, tanpa ada akal, tanpa ada nyawa mana mungkin saya bisa menuliskannya? Maka saya sangat bersyukur pada Allah yang sudah memberikan limpahan rezekinya. Sekali lagi, rezeki bukan melulu uang, sering kali ia tak bisa dinominalkan. Tak ternilai.

Monday, December 3, 2018

Merah Darah

https://bit.ly/2AI3wHK




“Gimana tadi Dik sekolahnya?”tanyaku pada Siti putriku.

“Tadi ada orang dari puskesmas Ma. Cerita-cerita gitu di depan kelas. Kasih tau kalo ga boleh jajan smebarangan.”celotehnya.

“Oh ya? Berapa orang yang datang Dik? Ada dokternya?”tanyaku lagi.

“Tadi itu…2 orang Ma. Yang satu pakai baju coklat yang satu lagi pakai baju batik Ma.”jawab Siti.

“Kenapa ga boleh jajan sembarangan Dik?”aku mencoba menguji putriku apakah ia mendengarkan penjelasan petugas penyuluhan puskesmas di sekolahnya atau tidak.

“Ya itu Ma, pakai pewarna Ma. Kan warnanya merah, ijo, kuning menyala gitu ma. Kata pak dokter tadi itu pewarna berbahaya. Terus banyak jajan yang digoreng pakai minyak hitam. Tadi dikasih liat gambarnya Ma, hitam banget. Itu katanya pak dokter sudah dipakai goreng lebih sepuluh kali tapi nggak diganti.”Siti bersemangat menjelaskan. Senang putriku bisa mengingat pesan [enyuluh kesehatan dengan baik.

“Trus apalagi?”aku terus bertanya.

“Ya itu Ma, jajan depan sekolah sering ga dibungkus. Tar dihinggapi lalat. Terus bawa penyakit. Bisa mencret Ma.”

“Gitu ya Dik? Ya sudah makan dulu.”Aku menghentikan penjelasannya sambil menyodorkan mangkuk bakso berkuah bening dengan butiran bola daging besar menggugah selera. Kami mampir makan bakso di warung bakso Pak Di langganan kami.

“Adik pakai kecap saja ya?”ulasku sambil menuang beberapa tetes kecap manis ke mangkuk baksonya

“Iya Ma. Loh mama pakai saus?”Kan tadi kata pak dokter ga boleh ma pakai saus merah. Katanya itu pewarnanya ngga bagus ma”Siti berargumen ketika melihatku menuangkan saus tomat berwarna merah darah pekat ke dalam mangkukku.

“Ngga apa-apa. Mama udah besar. Siti masih kecil jadi ga boleh pakai saus merah.”jawabku singkat sambil terus menuang saus merah darah  dari botol kaca ke dalam mangkuk sampai kuahnya mengental merah darah. Kutambah 3 sendok sambal dan kusantap.

Siti melongo melihatku.



#ODOPBatch6

Sunday, December 2, 2018

Penantian


https://bit.ly/2zBn40M


Perlahan jariku menggerakkan kelambu tebal berwarna hijau muda yang membatasi tempatku berbaring dengan pasien lain. Kupegang lengan kananku dan kupencet perlahan bagian bawah lipatan dalam tanganku, tegang dan keras. Jarum infus masih menempel di dekatnya. Aku menengadah ke atas dan silau lampu ruangan membuatku mengerjap, kuingat-ingat berapa lama aku sudah ada di sini. Kuhitung sudah lima hari sudah lamanya.

Aku gerakkan perlahan lengan kananku yang berinfus, kugeser bantal yang menopangnya agar lenganku bisa jatuh ke kasur, sejajar dengan lengan kiriku. Sedikit pegal rasanya. Kugerakkan ujung jari tangan kananku dan kuraba selimut lembut yang wangi cairan desinfektan. Cukup lembut selimut ini untuk ukuran rumah sakit umum daerah pinggiran.

Kurasakan sakit yang aneh di bagian perut bawahku. Aku penasaran apa sayatan itu berbekas. Bagaimana para dokter itu mencabikku di meja operasi, apa mereka sudah memperlakukanku sebaik-baiknya dengan membuat guratan pasca operasi yang layak. Atau mungkin nanti berbekas lebar? Kubuang pikiran jelek itu dan aku kembali terpekur dalam penantianku.

Ada hal yang lebih penting lagi. Sudah lewat 12 jam, ah salah sudah sehari semalam dan dua jam lagi, tepat dua jam lagi akan masuk hari kedua pasca operasiku dia tak kunjung datang. Aku tidak bisa membuatnya berjanji dan aku tahu dia juga tak bisa menjanjikan apa-apa padaku. Tuhan tolong segera kirim dia, kini aku ketakutan sendiri di ruangan tempat aku berbaring. Dulu aku acuh menganggap kehadirannya. Sering malu aku dibuatnya jika orang lain tahu tentang keberadaannya. Sekarang aku teramat sangat membutuhkannya. Tuhan yang Maha Pengampun, ampunilah dosaku dan tolonglah umatmu ini, aku memejamkan mata sembari berdoa.

“Ma, gimana?” suamiku datang kembali dari kamar obat dan mengambil kursi duduk di sampingku.

“Belum Pa.”jawabku.

“Belum kentut Ma?” suamiku menatap wajahku yang memelas.

“Belum, gimana nih pa?”aku merengek setengah khawatir.

“Coba kutanya perawat jaga ya. Tunggu ya Ma?”suamiku bergegas keluar ruangan.

Duh kentut mengapa kamu belum juga datang? Kamu maha penting melebihi segala urusan duniawiku pasca operasi. Datangnya dirimu pertanda usus dan organ tubuh dalam lainnya di pencernaan sudah bangun dan sudah bisa bekerja mengolah makanan. Kentutku, segeralah datang.


#ODOPBatch6
   

Kawan Lama

https://bit.ly/2lPjAkF


Sore ini seperti biasa selepas Ashar wanita berdaster itu berjalan menyusuri gang. Usianya sekitar 56 tahunan. Kadang ia memakai jilbab, kadang rambutnya dikonde cepol kecil. Ia selalu memakai gaun rumah yang dibuat longgar. Setiap hari selalu salin pakaian, berbedak dan berjalan tergesa langkah teratur.

Hari ini dijinjingnya kursi kecil dari plastik. Tujuannya satu, ke ujung gang, Ia akan menunggu temannya datang. Temannya selalu datang dan mereka akan bercengkerama, bicara ngalor-ngidul tentang topik apa saja yang menarik hati mereka berdua. Mereka selalu bertemu di pos kamling RT lima.  Posnya tepat di sisi jalan raya di sebelah mulut gang. Pos selalu terkunci dengan beberapa kursi plastik tempat orang duduk meronda di malam hari,  jadi wanita tua berdaster membawa kursi kecilnya sendiri.

Ia sampai di pos kamling. Sedikit membungkuk ia mencari tempat yang pas untuk kursinya. Diperiksanya kerikil pinggir jalan, dicungkil satu yang menurutnya tidak pada tempatnya dan diletakkan kursinya. Pas! Giliran pantat diparkir di atas kursi. Nyaman sudah, tinggal temannya yang belum datang.

Tak lama berselang ia mulai tertawa. Bahagia hatinya temannya sudah datang tidak terlambat. Wanita tua berdaster mulai bercerita tentang kegiatan belanjanya kemarin. Ia memasang wajah kesal, harga-harga naik dan ia bertemu musuh masa kecilnya. Bicaranya mulai berapi-api, ia mengingat semua kebencian pada teman masa kecilnya itu. Sedikit sumpah serapah terlontar juga dari mulutnya sambil bercerita. Kesal hati dan dendamnya membuatnya tak henti bercerita tentang belanjaan dan musuhnya.

Ia terus mengajak teman ngobrolnya bicara tentang banyak hal. Kadang ia tertawa karena memang lucu ceritanya, kadang nadanya datar, dan kadang penuh amarh, seperti cerita belanja kemarin hari yang tak sengaja bertemu musuh. Ia tak henti bercerita, sesekali melihat sekilas ke arah segelintir orang yang melewatinya cepat-cepat. Ia tak peduli dan terus bercerita.

Hari makin senja dan menjelang waktu Maghrib ia berpamitan dengan temannya. Sedikit tertawa terkekeh ia berpamitan dan beranjak pergi. Tak lupa ia ambil kursi plasti kecilnya dan berjalan masuk gang kembali ke rumahnya. Esok di jam yang sama ia akan kembali ke pos kamling, temannya pasti menunggu. Ia berjalan melewati ibu-ibu yang baru pulang dari pengajian di masjid kampung di gang itu. Ia tidak menyapa dan terus berjalan ke rumah.  Para ibu tadi melihat wanita tua berdaster dan mulai membahas hal yang sama, mengasihani wanita tua berdaster yang berkawan dengan khayalannya, berbicara dengan angin setiap hari di jam yang sama tanpa terlewat satu hari pun. Kadanga bicara dan kadang memaki tanpa ada teman bicara. Ibu pengomentar mengingatkan kelompoknya agar selalu rileks, tidak stres, agar tidak gila. Ia menutup komentarnya sambil tertawa terkekeh dalam nasihat yang dibungkus dengan nada melucu. 


#ODOPBatch6

Hanya Aku Bukan Kamu

https://bit.ly/2QaSOEj


Dalam bara renjana yang meletup sekuat magma, kuredam kuat semua rasa dalam-dalam. Tidak, kau tidak berkata apa yang harus kulakukan dengan deburan ombak rindu tak tentu arah ini. Dalam sua kita terdahulu sampai esok pun tak pernah kau tunjukkan padaku apa yang harus kubuat.

Apa hanya aku yang merindu sementara kau tak rasa? Apakah kebas hati kekal denganmu? Sedikit kuminta untuk penawar luka, hingga lara tak menganga tapi tak ada rasa itu padaku. Walau berat kutanggung hadirmu kutunggu, biar seperti benalu yang kusut masai mengakar kuat di nuraniku.

Hanya aku yang merindu dan bisu yang kudengar dari ucapmu.


#TantanganProsaLiris
#ODOPBatch6
#OneDayOnePost

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...