“Mengapa kita tinggal di sini Kak?” suara Lerowai membuyarkan
lamunanku.
“Karena kita memang ditakdirkan tinggal di sini.” jawabku singkat.
“Takdir itu apa?” tanyanya lagi.
“Nanti kau tau. Sana bantu ibu, cepat.” usirku yang tak mau
lagi diusik dengan rentetan pertanyaan Lerowai, adik bungsuku.
Lerowai menurut saja meninggalkanku di beranda rumah. Ia
menaiki lantai papan reot rumah kami yang bunyinya seperti meringkik tak kuat
menahan beban kami bersembilan yang tinggal di atasnya. Aku melihat jauh
mencoba mencari cakrawala tapi yang nampak hanya semburat mega mendung
menyeruak di langit sisi barat yang seharusnya cerah.
Aku mengumpulkan semua harapanku untuk melihat jauh ke depan
tapi yang kupunya hanya kesedihan dan amarah yang membuncah. Kedua rasa bengis
itu seperti ingin meluap keluar dari ragaku tapi tercekat sampai di pangkal
leherku. Tak bisa aku murka padanya yang telah memberikanku banyak kenikmatan.
Tak bisa aku berpaling dari rasa cinta yang bukan dari hatikusaja, tapi menguar
dari seluruh pori-poriku juga.
Baru tahun lalu aku pergi diundang bertemu dengan orang
terhormat yang menyematkan bintang jasa di dadaku. Dijabatnya tanganku, digoncangkan
dan dengan mata berkaca-kaca diucapkan banyak terima kasih darinya atas usahaku
memajukan tanah kelahiranku, menghapus buta aksara, mendorong anak dan orang
tua hidup jorok seperti babi peliharaan kami yang berkeliaran dekil dan
berkubang kotor, tak terhitung banyaknya hal yang diselamati oleh orang itu
atas jasaku. Aku ingat ia bilang, “Kau anak muda harapan bangsa. Kami berhutang
banyak padamu. Tanah kelahiranmu butuh 100 orang sepertimu. Kamu kebanggaan
Indonesia.” indah bukan?
Teringat olehku syair syahdu lagu Indonesia Raya stanza
ketiga yang menggetarkan kalbu itu. Janji dan baktiku pada negeri bernama
Indonesia tak akan hilang, walau kini aku terusir jauh, terlempar, terserak
bersama ratusan orang dari kampungku melewati batas buatan manusia yang bernama
Pos Lintas Batas Negara. Tanda jasaku tak mampu menyelamatkanku dari perpecahan
yang terlalu keji ini. Hanya dengan adik dan ibuku aku hidup di tanah asing
ini.
Ayahku mati ditembak milisi anti-kemerdekaan Timor-Leste yang
dibantu tentara Indonesia. Hanya karena saat itu ayah lupa mengelap keringatnya
dengan kaus FRETILIN. Diteriakkannya cinta Indonesia tapi tak digubris. Ayahku,
panutan hidupku, terkapar oleh mereka yang negaranya kucintai. Sanggupkah aku
bertahan melawan murka nestapaku?
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N'jaga ibu sejati.
Indoneisa, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia Abadi.
S'lamatlah rakyatnya,
S'lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg'rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Keren ini mah ceritanya mbk, dari kisah nyata kah? Gaya bahasanya aku suka😅
ReplyDeleteHi kak, makasiii..ngga..ini pure fiksi. Lagu yang keinget ya ini. Saya pengen yang ga cinta2an ala lagu-lagu itu. Makasih udah mampir
Deletekeren
ReplyDeleteThx kak Uthie
DeleteMantab
ReplyDeleteThx Kak Nurul
Deletekeren
ReplyDeletebagus banget ceritanya
ReplyDeleteidenya keren..
goodjob
Jadi keinget cerita2 org2 di sana 🌻🌻🌻
ReplyDeletebelum kukasih caption, ini semua rekaan, kesamaan cerita, lokasi dll hanya kebetulan belaka hehehe
DeleteAh suka.... Tapi miris ya ceritanya, p"pahlawan Indonesia" justru "terusir" dari negerinya karena keegoisan? 😐😢
ReplyDeleteMakasih kak, dan yg seperti ini banyak sekali terjadi. entah dalam konteks kenegaraan, kemasyarakatan dll
DeleteWah idenya keren, penulisannya juga bikin hati ikutan geregetan.
ReplyDeleteMakasih kak
Delete