Sunday, October 7, 2018

Rawon Budhe Mar



“Badruuuuun!” pekikan keras Budhe Mar membangunkan Badrun yang masih lelap bergelung sarung.  Hari sudah siang tapi bujang seusia SMA ini tetap tekun tidur. Setengah bangun Badrun beringsut mencoba malas melangkahkan kaki ke arah suara bibiny. Ia kaget menemukan kakak ibunya memegang centong dengan tangan lainnya mengangkat sisi kain penutup kakinya sebelah kiri. Peluh turun berkejaran dari dahi si bibi dan bau rawon menyeruak memenuhi warung. Baunya sedap bercampur bau debu, ternyata kuah menyapu hampir seluruh lantai warung.


“Lho, Budhe kenapa?” Badrun terheran-heran, bertanya tetap dari posisinya di depan gawang pintu warung.

Turu tok ae. Tidur saja kau ini. Mbok ya bangun dari tadi. Aku gedebag-gedebug­  kamu tetap ngorok tidur pulas. Ini loh ulah Abu Meong. Awas kalo dia ke sini.” Budhe Mar bersungut-sungut, suaranya naik dua nada, lebih memekakkan telinga.

“Loh, dhe masa Abu Meong makan rawon? Kan ga suka rawon dia.” Badrun membela Abu Meong yang sudah lenyap bagai tahu nasibnya di ujung centong bulat keras berlogam tebal peninggalan zaman Mbah Maryamah, legenda rawon keluarga Badrun.

“Lha dia naik kompor. Ambil ikan di mangkuk plastik dekat tirisan tempe. Sebelahnya kan panci rawon Drun. Tak gepuk, kupukul pakai centong, eh dia lompat. Abu Meong lolos, panciku isi rawon ngguling, miring dan tumpahlah semua isinya.” Budhe Mar sengit menceritakan kronologi kejadian lima menit yang lalu itu.

Badrun terdiam, dia tahu dia pasti kena hukuman. Karena Abu Meong kelaparan, rawong jadi tumbalnya. Bukan sepenuhnya kesalahan Abu Meong, ini kesalahan budhe nya yang kurang hati-hati. Badrun mencoba membuat pembelaan baru. Ia masih menyusun kata-kata terbaiknya ketika kemudian ia mendengar suara wanita tua lain, yang sama sengit dengan suara bibinya.

“Mbak Mar. Iki opo se? Ini bagaimana? Rawon kok kecut, asam sekali Mbak.” Bu Ngatmo berkacak pinggang menenteng panci aluminium kecil berisi rawon.

“Lho, kenapa Bu Mo?” Tanya Budhe Mar.

“Coba dirasakan sini Mbak. Wah tamuku kasihan mbak, masa makan rawon rasa asem begini. Pantas saja tak ada yang habis makan nasi rawon tadi, cuma empal goreng yang dilahap habis.” Bu Ngatimo masih menggerutu setelah komplain selesai disampaikan.

Budhe Mar berjingkat menghindari tumpahan rawon di lantai menuju jendela samping warung, tempat Bu Ngatmo berdiri. Dengan tergesa diseruput kuah rawon yang disendok dengan sendok yang asal saja diambilnya dari dekat kompor. Ia terkejut dan mencecap, mengernyitkan alis dan kembali menyendok kuah agak banyak dan terbatuk-batuk.

Bener to Mbak Mar?”

“Eh…iya bu. Ngapunten. Minta maaf Bu. Saya tidak sengaja, mungkin tadi terburu-buru keluak kupas salah dengan asam matang. Rasanya jadi tak karuan. Mohon maaf Bu. Saya ganti rawon baru. Nanti saya antar Bu, masak dulu saya. Mohon maaf Bu.” suara Budhe Mar penuh kecemasan.

Ora usah Mbak. Tamune wis mulih.  Tak perlu Mbak. Tamu saya sudah pulang.” Bu Ngatmo menjawab sini sambil ngeloyor pergi tak lupa membawa pancinya.

“Tuh kan dhe, untung sisa rawon tak dijual ke orang lain, sudah tumpah karena Abu Meong.” kali ini Badrun perccaya diri mengucapkan kalimat yang meluncur mulus dari bibirnya.

“Ngawur! Sana bersihkan lantai warung!” Budhe Mar melengkingkan suaranya kembali. Kini turun satu nada dari yang terakhir.

#TantanganODOP4 #onedayonepost #odopbatch6 #fiksi/#nonfiksi

No comments:

Post a Comment

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...