“Badruuuuun!” pekikan keras Budhe Mar membangunkan Badrun
yang masih lelap bergelung sarung. Hari
sudah siang tapi bujang seusia SMA ini tetap tekun tidur. Setengah bangun
Badrun beringsut mencoba malas melangkahkan kaki ke arah suara bibiny. Ia kaget
menemukan kakak ibunya memegang centong dengan tangan lainnya mengangkat sisi
kain penutup kakinya sebelah kiri. Peluh turun berkejaran dari dahi si bibi dan
bau rawon menyeruak memenuhi warung. Baunya sedap bercampur bau debu, ternyata
kuah menyapu hampir seluruh lantai warung.
“Lho, Budhe kenapa?” Badrun terheran-heran, bertanya tetap
dari posisinya di depan gawang pintu warung.
“Turu tok ae.
Tidur saja kau ini. Mbok ya bangun
dari tadi. Aku gedebag-gedebug kamu tetap ngorok tidur pulas. Ini loh ulah
Abu Meong. Awas kalo dia ke sini.” Budhe Mar bersungut-sungut, suaranya naik
dua nada, lebih memekakkan telinga.
“Loh, dhe masa Abu
Meong makan rawon? Kan ga suka rawon dia.” Badrun membela Abu Meong yang sudah
lenyap bagai tahu nasibnya di ujung centong bulat keras berlogam tebal
peninggalan zaman Mbah Maryamah, legenda rawon keluarga Badrun.
“Lha dia naik kompor. Ambil ikan di mangkuk plastik dekat
tirisan tempe. Sebelahnya kan panci rawon Drun. Tak gepuk, kupukul pakai centong, eh dia lompat. Abu Meong lolos,
panciku isi rawon ngguling, miring
dan tumpahlah semua isinya.” Budhe Mar sengit menceritakan kronologi kejadian
lima menit yang lalu itu.
Badrun terdiam, dia tahu dia pasti kena hukuman. Karena Abu
Meong kelaparan, rawong jadi tumbalnya. Bukan sepenuhnya kesalahan Abu Meong,
ini kesalahan budhe nya yang kurang
hati-hati. Badrun mencoba membuat pembelaan baru. Ia masih menyusun kata-kata
terbaiknya ketika kemudian ia mendengar suara wanita tua lain, yang sama sengit
dengan suara bibinya.
“Mbak Mar. Iki opo se?
Ini bagaimana? Rawon kok kecut, asam
sekali Mbak.” Bu Ngatmo berkacak pinggang menenteng panci aluminium kecil
berisi rawon.
“Lho, kenapa Bu Mo?” Tanya Budhe Mar.
“Coba dirasakan sini Mbak. Wah tamuku kasihan mbak, masa
makan rawon rasa asem begini. Pantas saja tak ada yang habis makan nasi rawon
tadi, cuma empal goreng yang dilahap habis.” Bu Ngatimo masih menggerutu
setelah komplain selesai disampaikan.
Budhe Mar berjingkat menghindari tumpahan rawon di lantai
menuju jendela samping warung, tempat Bu Ngatmo berdiri. Dengan tergesa
diseruput kuah rawon yang disendok dengan sendok yang asal saja diambilnya dari
dekat kompor. Ia terkejut dan mencecap, mengernyitkan alis dan kembali
menyendok kuah agak banyak dan terbatuk-batuk.
“Bener to Mbak Mar?”
“Eh…iya bu. Ngapunten.
Minta maaf Bu. Saya tidak sengaja, mungkin tadi terburu-buru keluak kupas
salah dengan asam matang. Rasanya jadi tak karuan. Mohon maaf Bu. Saya ganti
rawon baru. Nanti saya antar Bu, masak dulu saya. Mohon maaf Bu.” suara Budhe
Mar penuh kecemasan.
“Ora usah Mbak. Tamune
wis mulih. Tak perlu Mbak. Tamu saya
sudah pulang.” Bu Ngatmo menjawab sini sambil ngeloyor pergi tak lupa membawa pancinya.
“Tuh kan dhe, untung
sisa rawon tak dijual ke orang lain, sudah tumpah karena Abu Meong.” kali ini
Badrun perccaya diri mengucapkan kalimat yang meluncur mulus dari bibirnya.
“Ngawur! Sana bersihkan lantai warung!” Budhe Mar
melengkingkan suaranya kembali. Kini turun satu nada dari yang terakhir.
#TantanganODOP4 #onedayonepost #odopbatch6 #fiksi/#nonfiksi
#TantanganODOP4 #onedayonepost #odopbatch6 #fiksi/#nonfiksi
No comments:
Post a Comment