Wednesday, October 3, 2018

Si Nomor Enam Belas



Hujan rintik-rintik mengiringi kedatangan si Nomor Enam Belas di rumah padat penghuni, nomor dua dari pojok gang. Taro, salah satu penghuni tertua menunggu dengan masam di sisi pagar. Ia tidak suka penghuni baru, salah, lebih tepatnya ia tidak suka semua penghuni di dalam rumah. Baginya, kekuasaan mutlak ada padanya. Ia yang mengawasi rumah dari tetamu yang dinanti dan yang tak dinanti. Ketika si Enam Belas masuk ke teras rumah, Taro pergi menjauh acuh saja. Ia tak suka si Nomor Enam Belas.

Si Nomor Enam Belas tidak menyukai rumah itu, tempat tinggal barunya. Semua yang asing baginya sangat mengusik kedamaian. Dulu ia tinggal di jalanan, diperlakukan kasar, sering mencuri makanan, dan berlari ketakutan, ada atau tiada orang yang mengejarnya. Hidup di jalanan sangat susah. Air bersih dan tempat tinggal layak sulit didapat. Makanan pun kadang ada dan tak ada. Ketakutan selalu menyergapnya. Bahkan panggilan nona muda yang menyapanya penuh kasih juga sebuah ancaman besar. Kini, ia sudah berada di tempat baru.

Semua terasa begitu cepat tadi sore. Di hari Minggu sore yang masih hangat karena sang surya enggan beranjak berganti posisi dengan rembulan, nona manis yang menyapanya tempo hari datang dengan banyak makanan. Dipanggilnya si Nomor Enam Belas dengan lembut dan dirayu-rayu agar mendekat dan menyantap sardin berlemak dengan kuah yang baunya bisa membangunkan penggeemar ikan dari seluruh penjuru. Si Nomor Enam Belas sudah tahu ada sesuatu yang janggal. Makanan yang ditawarkan nona manis itu terlalu mewah untuk dirinya yang kumal tak terurus. Rasa lapar memang kejam, mengalahkan harga dirinya. Apalah daya, setelah berpikir kurang dari tujuh detik ia mendekati sardine nikmat itu dan melahap sampai habis.

Sardin punya kekuatan magis yang membuat semua yang sedikit memakannya jadi ingin lebih. Ada daya pikat yang menimbulkan ketagihan tak terhingga. Nona manis mengetahui hal ini dan menambahkan lebih banyak sardin di dalam perangkap yang dibawanya. Si Nomor Enam Belas bagai kerbau tercocok hidung segera mengikuti sardin yang memanggil dari dalam perangkap. Tanpa ragu dilahap hampir habis sardine yang tersedia.  Tepat sebelum habis nona manis menutup perangkap dan tersenyum gembira. Si Nomor Enam Belas telat meronta, telat meraung. Sungguh terlambat adalah persamaan kata dari nasib buruk baginya.

Begitulah bagaimana si Nomor Enam Belas sampai di rumah yang ternyata dimiliki nona manis. Ia menghindari tatapan mata penghuni rumah lain. Taro terutama yang paling sinis menyambut.  Ia sudah pasrah akan nasib hidupnya. Jika memang Tuhan berkehendak menutup cerita suka dukanya di dunia, tak mengapa, ia sudah bersiap.

Dalam ketakutan ia diberi makanan lebih banyak lagi. Kali ini aneka biskuit gurih yang dulu pernah dimakannya. Dulu ketika ia belum dibuang di jalanan atas kealahan yang tak pernah diketahui, rahasia sampai sekarang. Rasa lapar ada, tapi rakus telah menjelma jadi kecemasan. Jangan-jangan setelah dikenyangkan ia akan disiksa, begitu pikir si Nomor Enam Belas. Mungkin nona manis hanya pura-pura baik, siapa tahu maksud sebenarnya gadis itu?
Di kamar berdinding hijau kusam dengan kaca lebar berbingkai kayu tua dicat putih, si Nomor Enam Belas meringkuk. Ini kamar terbersih dan terhangat yang pernah dimilikinya. Ada makanan, minuman, dan alas empuk untuk tidur. Tapi semuanya asing. Keterasingan ini ditambah dengan tatapan berpasang-pasang mata yang ingin tahu siapa dirinya dari balik jendela. Ia ingin memejamkan mata tapi sulit. Di dekat mangkuk makanan ia melihat kalung kulit bergasper karet dengan bandul keemasan bertuliskan sebuah nama, Almond.

Malam itu, di sebelah kamar si Nomor Enam Belas, nona manis mengunggah citra si Nomor Enam Belas dalam memori yang sudah penuh oleh aneka perkara hidup. Sambil memeluk Taro yang datang dan berbaring di dekatnya, nona manis berbisik, “Si Nomor Enam Belas itu bernama Almond mulai saat ini, baik-baiklah kau padanya.” kemudian ia mengecup Taro dan pergi tidur.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6 

4 comments:

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...