Thursday, November 8, 2018

Manifes 70

https://bit.ly/2RHOKaG



“Edi, sudah cek manifest 70?” suara berat lelaki tambun pertengahan lima puluh tahunan memecah lamunan Edi yang duduk di dekat pintu Logana Ekspres, ekspedisi tempatnya bekerja.

“E…sudah Pak. Sudah saya cek dua kali.” jawabnya tergagap antara kaget dan takut.

“Oke. Dua puluh menit lagi ya jadwalnya.” Hindun lelaki yang jadi pengawas kerja Logana Ekspres mengingatkan Edi dan dirinya sendiri tentang jadwal kereta yang akan masuk stasiun.

“Siap Pak.” Edi menjawab singkat dan bangkit meninggalkan tempat duduk. Ia melangkah menuju pintu belakang ruangan ekspedisi Logana Ekspres. Sambil berjalan ia perhatikan cat oranye kekuningan kusam di dinding tua yang mulai melembung terkena lembab udara. Papan pengumuman putih di dinding kanannya sudah menguning mengikuti waktu yang tak bisa ditipu. Tiang penyangga tua abu-abu dicat kasar, khas warna bangunan tempo dulu, gagah berdiri walau ditemani karat yanglebih tua dari umur cat.

Di depan matanya terhampar jajaran rel berbatu rapi tertumpuk di tengahnya. Dari kejauhan nampak bangku dekat peron sudah penuh oleh penumpang. Ia menengadah dan nampak langit sedikit mendung. Angin enggan datang tapi suhu dingin mulai menerpa kulit. Seketika ia merinding. Tak ada sebab, datang saja serbuan rasa aneh yang membuat bintik kecil di tangannya muncul dan membangkitkan rambut di bawah siku sampai pangkal lengannya. Edi kalut dalam perasaan yang serba aneh.

Selang kurang dari dua menit nampak kereta penumpang dari Malang masuk ke jalur dua, berjarak satu jalur rel saja dari tempatnya berdiri di pinggir peron. Edi menatap nanar gerbong yang melintas dengan penumpang yang sudah berdiri meninggalkan kursi menuju pintu gerbong masing-masing. Degup jantungnya berkejaran mengikuti kereta yang lambat bergerak memastikan lokomotif berhenti tepat beberapa meter sebelum ujung stasiun. Keringat dingin mulai membanjiri kemeja oranye pudar dengan krah baju yang apek. Edi perlahan memaksakan diri melihat sampai ekor kereta berhenti tepat di hadapannya. Nyaris tanpa suara lokomotif pembawa enam gerbong penumpang itu tak bergeming,  lalu sigap berdiri, berhenti total di depannya.

Berduyun-duyun penumpang turun melewati tangga besi sorong yang diletakkan tepat di depan pintu gerbong. Kebanyakan berwajah kuyu, perjalanan panjang melelahkan mereka. Ada juga satu dua yang nampak tegang, berjalan tergesa dengan kopor jinjing hampir menyaruk segala yang ada di dekatnya. Mungkin mereka orang-orang yang terlambat dari janji yang disepakati. Stasiun ramai sejenak, kuli angkut sibuk sejenak, pengeras suara berkoar mengabarkan informasi ini itu, dan langit masih tetap mendung.

Edi memukul pahanya yang mulai kebas. Ia mengajak semua anggota tubuhnya bangun lagi dan bersiap menghadapi tugas selanjutnya. Tak ada yang boleh lemah, semua harus kuat dan saling bekerja. Tangan, kaki, lengan, pergelangan kaki pun harus siap menopang berat tubuh dan berlari menuju gerbong barang tempat aneka rupa barang yang dicatat sesuai manifes 70 berdiam. Edi meyakinkan dirinya lagi, ia siap menyambut kereta selanjutnya tiba. Ia akan segera berlari ke arah gerbong barang, memanggul isi barang, membantu teman mendorong barang yang berat, memastikan semua barang sesuai manifes, minta tanda tangan persetujuan petugas gerbong barang, memeriksa kembali pemindahan barang, dan segera makan di warung Bu Dar. Ya, makan goreng pisang dan minum seteguk teh manis hangat di warung Bu Dar akan mengakhiri rentetan misinya pagi itu. Semua tergambar jelas, semua terencana dengan baik baginya.

Edi sedikit semringah memikirkan warung Bu Dar. Ia sudah mempersiapkan izin untuk menyelinap sejenak ke warung pojok stasiun dekat tempat langsir kereta. Dirabanya kantong celana kanan depan, terasa lipatan dua lembar kertas. Ia perkirakan ada sepuluh ribu rupiah jumlahnya. Besok hari gajian, jadi boleh ia memanjakan diri sejenak di warung Bu Dar untuk hadiah bagi tugas pertamanya pagi ini nanti.

Beberapa petugas dari ekspedisi yang sama , tiga orang kawan, datang dan ikut berdiri di sebelahnya. Dua di antaranya hanya mengangguk dan tersenyum ke Edi, Edi membalas dengan tubuh sedikit dibungkukkan dan senyum yang dibuat setulus mungkin. Sekarang Edi berdiri kikuk. Dia bukan anak kemarin sore, tapi ia selalu merasa seperti pegawai yang masuk kerja pertama kali. Ia sadar dirinya sudah sering berulah, ia pun tak ingin melakukannya, mungkin karena itu semua segan padanya. Tidak, bukan segan, tapi enggan berteman dengannya, tak ada yang mau kena masalah karena berdekatan dengan Edi.

Degup jantung yang sudah setenang riak sungai kecil kembali bergemuruh. Perasaan tak disukai membuatnya kembali tak nyaman dan tak yakin akan rencana eksekusi misi pagi ini, termasuk rencana kunjungan ke warung Bu Dar. Edi menengok ke belakang dan melihat jarum jam besar di kantornya. Kereta akan tiba.

Dentang merdu lonceng buatan diteriakkan dari ruang siaran stasiun. Suara merdu petugas informasi wanita mengisi keheningan antara Edi dan kawan-kawannya. Kereta tujuan Merak dari Madiun masuk di jalur satu dan suara wanita ini seperti kaset yang diputar berulang-ulang, hampir sama setiap saat. Edi pun menghafal pasti kata per kata yang disiarkan ke penjuru stasiun.

“Mohon perhatian, sesaat lagi kereta api Krakatau akan tiba di stasiun Cirebon. Bagi anda yang akan mengakhiri perjalanan di stasiun Cirebon kami persilahkan untuk mempersiapkan diri. Periksa dan teliti kembali barang bawaan anda jangan sampai ada yang tertinggal. Untuk keselamatan anda tetaplah berada di tempat duduk sampai kereta berhenti dengan sempurna. Terimakasih atas kepercayaan anda menggunakan jasa layanan kereta api Indonesia, sampai jumpa pada perjalanan berikutnya.” suara penyiar wanita itu serasa menusuk jantung Edi. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia terus menerus merapal doa menguatkan badan dan nyalinya.

Gerbong barang berhenti sebelum peron, letaknya di ekor kereta membuat Edi dan kawannya bergegas menggeser tanjakan kayu bertiang besi untuk menyorong barang ke atas peron. Edi bersiap melompat naik ke gerbong dan seketika ia melihat wajah tua ayahnya. Ia heran mengapa ayahnya ada di stasiun pagi ini. Seharusnya sang ayah berjualan rokok di depan Toko Tjian di dekat Pasar Kanoman. Ia ingin menyapa ayahnya tapi lidahnya kelu.

Edi heran melihat ayahnya bercucuran keringat dengan wajah pucat dan bibir bergetar berdiri hanya sedepa darinya. Mayat bergelimpangan dengan ceceran potongan tubuh tak berbentuk mengitari ayahnya. Edi ingin menggapai tangan sang ayah, tapi ayahnya bergeming. Menatapnya dengan mata kosong. Gerbong penuh dengan lolongan kesakitan dan minta tolong. Belum genap Edi memahami apa yang terjadi, ia melihat gerbong itu tiba-tiba remuk ditabrak lokomotif dari sisi kanan. Ayahnya lenyap dan ia meraung memanggil ayahnya keluar dari himpitan gerbong yang runtuh. Tak ada sahutan.

Suara laki-laki, anak-anak, wanita dan orang tua berteriak minta tolong dengan tangisan pilu. Tak ada yang datang membantu. Gerbong-gerbong kereta saling himpit, saling tumpuk, saling terkam, lemas sudah tubuh Edi melihat bencana di depan matanya. Nafasnya tersengal-sengal dan ia merasakan bau tajam menusuk hidungnya. Bau yang sangat dikenalnya, balsam! Bau ini membuyarkan adegan gerbong celaka dengan penumpang sekarat dan ayahnya di dalam. Ia bisa melihat cahaya menjadi lebih terang.

Dengan bau balsam yang lebih kuat daripada nyalinya Edi siuman. Seorang kawan menatapnya sinis dan pergi meninggalkan kerumunan yang berdiri mengelilingi tubuhnya. Ia bisa melihat dengan jelas Karsiman, polisi khusus kereta api dua puluh lima tahunan membantunya duduk dan memberinya teh manis hangat. Anggota kerumunan bubar cepat meninggalkan Edi setelah ia duduk sempurna bersandar dinding peron, tiga meter dari pintu belakang kantor ekspedisinya.

Karsiman memijit pundak Edi. Hanya mereka berdua sekarang di lantai peron. Kuli barang dan pegawai ekspedisi sibuk memindahkan barang. Kereta terakhir bagi Edi.

Edi menahan genangan air mata yang hampir turun jatuh. Serangan panik bukan hanya terjadi kali ini saja, sudah berkali-kali mendatanginya. Kali ini, pingsan ketiganya, tak ada lagi kerja di ekspedisi. Kata-kata Pak Hindun, si pengawas, minggu lalu masih jelas di ingatan, “Kamu pingsan lagi tak ada pekerjaan di sini. Ngerti kamu? Kita orang cari pegawai yang sehat, bukan orang sakit yang lihat kereta langsung semaput.” Itu katanya.



Edi berterima kasih pada Karsiman, satu-satunya teman yang mau membantunya siuman. Kawannya seekspedisi sudah hafal dengan pingsannya Edi. Tak ada lagi yang simpati. Mereka malah kewalahan, sibuk mengeluarkan barang kiriman mandat dari pelanggan, keluar dari gerbong barang. Edi yang pingsan menjadi penghambat tim kerja cepat. Andai mereka tahu, tiga puluh dua tahun yang lalu Edi kecil mendapati ayahnya dipenjara sebagai masinis yang dituduh lalai menghilangkan nyawa dua ratus penumpang kereta, menabrakkan rangkaian keretanya dengan kereta lain yang sedang melaju dari arah berlawanan. Andai bisa Edi mengatakan yang sejujurnya, ia anak masinis terkutuk yang lelah menghadapai hukuman hakim, cela masyarakat, dan jadi kambing hitam kecelakaan kereta di hari nahas itu.  Bagi ayahnya hukuman tak adil harus ditanggung, keberangkatan dan laju kokomotifnya semua karena restu kepala stasiun yang sampai sekarang tetap melenggang hidup makmur tanpa nista.

Ayah Edi dipenjara, miskin tanpa tunjangan pensiun. Edi kecil terlalu rapuh untuk menerima kejamnya dunia. Semua jadi hakim dan ia tumbuh jadi orang yang selalu dibayangi kecelakaan yang tak pernah dialaminya. Cukup cerita ayahandanya saja sudah membuat Edi ikut bersalah menghilangkan nyawa ratusan orang yang sedang dijemput ajal suatu pagi di Oktober berdekade yang lalu.

Jika Edi berkata yang sejujurnya, Logana Ekspres tak akan mempekerjakannya. Ayah pemilik ekspedisi dulu tewas di kecelakaan kereta yang dilajukan ayah Edi, kemarahan mereka pada si masinis apes masih membara sampai sekarang.



 #Tantanganfiksi1
#ODOPBatch6







10 comments:

  1. Keren mba.... Detail banget penggambaran latarnya, suka... 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi mb Lia, terima kasih banyak sudah berkunjung ke blog saya. Terima kasih juga apresiasinya, jadi pembakar semangat ini. Selamat belajar juga dan salam kenal ya mbak xoxoxoxo

      Delete
  2. Replies
    1. Hi Mb Fathin, terima kasih banyak sudah review postingan saya. Makasih banyak juga sudah mampir ke sini xoxoxoxo

      Delete
  3. Replies
    1. Makasih...daaaan...you know now why it took away the soul in me...mwahahahaha...i shall try thrilling short stories

      Delete

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...