https://bit.ly/2RHOKaG |
“Edi, sudah cek manifest 70?”
suara berat lelaki tambun pertengahan lima puluh tahunan memecah lamunan Edi
yang duduk di dekat pintu Logana Ekspres, ekspedisi tempatnya bekerja.
“E…sudah Pak. Sudah saya cek dua
kali.” jawabnya tergagap antara kaget dan takut.
“Oke. Dua puluh menit lagi ya
jadwalnya.” Hindun lelaki yang jadi pengawas kerja Logana Ekspres mengingatkan
Edi dan dirinya sendiri tentang jadwal kereta yang akan masuk stasiun.
“Siap Pak.” Edi menjawab singkat
dan bangkit meninggalkan tempat duduk. Ia melangkah menuju pintu belakang
ruangan ekspedisi Logana Ekspres. Sambil berjalan ia perhatikan cat oranye
kekuningan kusam di dinding tua yang mulai melembung terkena lembab udara.
Papan pengumuman putih di dinding kanannya sudah menguning mengikuti waktu yang
tak bisa ditipu. Tiang penyangga tua abu-abu dicat kasar, khas warna bangunan
tempo dulu, gagah berdiri walau ditemani karat yanglebih tua dari umur cat.
Di depan matanya terhampar
jajaran rel berbatu rapi tertumpuk di tengahnya. Dari kejauhan nampak bangku
dekat peron sudah penuh oleh penumpang. Ia menengadah dan nampak langit sedikit
mendung. Angin enggan datang tapi suhu dingin mulai menerpa kulit. Seketika ia
merinding. Tak ada sebab, datang saja serbuan rasa aneh yang membuat bintik
kecil di tangannya muncul dan membangkitkan rambut di bawah siku sampai pangkal
lengannya. Edi kalut dalam perasaan yang serba aneh.
Selang kurang dari dua menit
nampak kereta penumpang dari Malang masuk ke jalur dua, berjarak satu jalur rel
saja dari tempatnya berdiri di pinggir peron. Edi menatap nanar gerbong yang
melintas dengan penumpang yang sudah berdiri meninggalkan kursi menuju pintu
gerbong masing-masing. Degup jantungnya berkejaran mengikuti kereta yang lambat
bergerak memastikan lokomotif berhenti tepat beberapa meter sebelum ujung
stasiun. Keringat dingin mulai membanjiri kemeja oranye pudar dengan krah baju
yang apek. Edi perlahan memaksakan diri melihat sampai ekor kereta berhenti
tepat di hadapannya. Nyaris tanpa suara lokomotif pembawa enam gerbong
penumpang itu tak bergeming, lalu sigap berdiri, berhenti total di depannya.
Berduyun-duyun penumpang turun
melewati tangga besi sorong yang
diletakkan tepat di depan pintu gerbong. Kebanyakan berwajah kuyu, perjalanan
panjang melelahkan mereka. Ada juga satu dua yang nampak tegang, berjalan
tergesa dengan kopor jinjing hampir menyaruk segala yang ada di dekatnya. Mungkin
mereka orang-orang yang terlambat dari janji yang disepakati. Stasiun ramai
sejenak, kuli angkut sibuk sejenak, pengeras suara berkoar mengabarkan
informasi ini itu, dan langit masih tetap mendung.
Edi memukul pahanya yang mulai
kebas. Ia mengajak semua anggota tubuhnya bangun lagi dan bersiap menghadapi
tugas selanjutnya. Tak ada yang boleh lemah, semua harus kuat dan saling
bekerja. Tangan, kaki, lengan, pergelangan kaki pun harus siap menopang berat
tubuh dan berlari menuju gerbong barang tempat aneka rupa barang yang dicatat
sesuai manifes 70 berdiam. Edi meyakinkan dirinya lagi, ia siap menyambut
kereta selanjutnya tiba. Ia akan segera berlari ke arah gerbong barang,
memanggul isi barang, membantu teman mendorong barang yang berat, memastikan
semua barang sesuai manifes, minta tanda tangan persetujuan petugas gerbong
barang, memeriksa kembali pemindahan barang, dan segera makan di warung Bu Dar.
Ya, makan goreng pisang dan minum seteguk teh manis hangat di warung Bu Dar
akan mengakhiri rentetan misinya pagi itu. Semua tergambar jelas, semua
terencana dengan baik baginya.
Edi sedikit semringah memikirkan
warung Bu Dar. Ia sudah mempersiapkan izin untuk menyelinap sejenak ke warung
pojok stasiun dekat tempat langsir kereta. Dirabanya kantong celana kanan
depan, terasa lipatan dua lembar kertas. Ia perkirakan ada sepuluh ribu rupiah
jumlahnya. Besok hari gajian, jadi boleh ia memanjakan diri sejenak di warung
Bu Dar untuk hadiah bagi tugas pertamanya pagi ini nanti.
Beberapa petugas dari ekspedisi
yang sama , tiga orang kawan, datang dan ikut berdiri di sebelahnya. Dua di
antaranya hanya mengangguk dan tersenyum ke Edi, Edi membalas dengan tubuh
sedikit dibungkukkan dan senyum yang dibuat setulus mungkin. Sekarang Edi
berdiri kikuk. Dia bukan anak kemarin sore, tapi ia selalu merasa seperti
pegawai yang masuk kerja pertama kali. Ia sadar dirinya sudah sering berulah,
ia pun tak ingin melakukannya, mungkin karena itu semua segan padanya. Tidak,
bukan segan, tapi enggan berteman dengannya, tak ada yang mau kena masalah
karena berdekatan dengan Edi.
Degup jantung yang sudah setenang
riak sungai kecil kembali bergemuruh. Perasaan tak disukai membuatnya kembali
tak nyaman dan tak yakin akan rencana eksekusi misi pagi ini, termasuk rencana
kunjungan ke warung Bu Dar. Edi menengok ke belakang dan melihat jarum jam
besar di kantornya. Kereta akan tiba.
Dentang merdu lonceng buatan
diteriakkan dari ruang siaran stasiun. Suara merdu petugas informasi wanita
mengisi keheningan antara Edi dan kawan-kawannya. Kereta tujuan Merak dari
Madiun masuk di jalur satu dan suara wanita ini seperti kaset yang diputar berulang-ulang,
hampir sama setiap saat. Edi pun menghafal pasti kata per kata yang disiarkan
ke penjuru stasiun.
“Mohon perhatian, sesaat lagi
kereta api Krakatau akan tiba di stasiun Cirebon. Bagi anda yang akan
mengakhiri perjalanan di stasiun Cirebon kami persilahkan untuk mempersiapkan
diri. Periksa dan teliti kembali barang bawaan anda jangan sampai ada yang
tertinggal. Untuk keselamatan anda tetaplah berada di tempat duduk sampai
kereta berhenti dengan sempurna. Terimakasih atas kepercayaan anda menggunakan
jasa layanan kereta api Indonesia, sampai jumpa pada perjalanan berikutnya.” suara
penyiar wanita itu serasa menusuk jantung Edi. Jantungnya berdebar tak karuan.
Ia terus menerus merapal doa menguatkan badan dan nyalinya.
Gerbong barang berhenti sebelum
peron, letaknya di ekor kereta membuat Edi dan kawannya bergegas menggeser
tanjakan kayu bertiang besi untuk menyorong barang ke atas peron. Edi bersiap
melompat naik ke gerbong dan seketika ia melihat wajah tua ayahnya. Ia heran
mengapa ayahnya ada di stasiun pagi ini. Seharusnya sang ayah berjualan rokok
di depan Toko Tjian di dekat Pasar Kanoman. Ia ingin menyapa ayahnya tapi
lidahnya kelu.
Edi heran melihat ayahnya
bercucuran keringat dengan wajah pucat dan bibir bergetar berdiri hanya sedepa
darinya. Mayat bergelimpangan dengan ceceran potongan tubuh tak berbentuk
mengitari ayahnya. Edi ingin menggapai tangan sang ayah, tapi ayahnya
bergeming. Menatapnya dengan mata kosong. Gerbong penuh dengan lolongan kesakitan
dan minta tolong. Belum genap Edi memahami apa yang terjadi, ia melihat gerbong
itu tiba-tiba remuk ditabrak lokomotif dari sisi kanan. Ayahnya lenyap dan ia
meraung memanggil ayahnya keluar dari himpitan gerbong yang runtuh. Tak ada
sahutan.
Suara laki-laki, anak-anak,
wanita dan orang tua berteriak minta tolong dengan tangisan pilu. Tak ada yang
datang membantu. Gerbong-gerbong kereta saling himpit, saling tumpuk, saling
terkam, lemas sudah tubuh Edi melihat bencana di depan matanya. Nafasnya
tersengal-sengal dan ia merasakan bau tajam menusuk hidungnya. Bau yang sangat
dikenalnya, balsam! Bau ini membuyarkan adegan gerbong celaka dengan penumpang
sekarat dan ayahnya di dalam. Ia bisa melihat cahaya menjadi lebih terang.
Dengan bau balsam yang lebih kuat
daripada nyalinya Edi siuman. Seorang kawan menatapnya sinis dan pergi
meninggalkan kerumunan yang berdiri mengelilingi tubuhnya. Ia bisa melihat
dengan jelas Karsiman, polisi khusus kereta api dua puluh lima tahunan
membantunya duduk dan memberinya teh manis hangat. Anggota kerumunan bubar
cepat meninggalkan Edi setelah ia duduk sempurna bersandar dinding peron, tiga
meter dari pintu belakang kantor ekspedisinya.
Karsiman memijit pundak Edi.
Hanya mereka berdua sekarang di lantai peron. Kuli barang dan pegawai ekspedisi
sibuk memindahkan barang. Kereta terakhir bagi Edi.
Edi menahan genangan air mata
yang hampir turun jatuh. Serangan panik bukan hanya terjadi kali ini saja, sudah berkali-kali mendatanginya. Kali ini, pingsan ketiganya, tak ada lagi kerja di
ekspedisi. Kata-kata Pak Hindun, si pengawas, minggu lalu masih jelas di
ingatan, “Kamu pingsan lagi tak ada pekerjaan di sini. Ngerti kamu? Kita orang
cari pegawai yang sehat, bukan orang sakit yang lihat kereta langsung semaput.”
Itu katanya.
Edi berterima kasih pada
Karsiman, satu-satunya teman yang mau membantunya siuman. Kawannya seekspedisi
sudah hafal dengan pingsannya Edi. Tak ada lagi yang simpati. Mereka malah
kewalahan, sibuk mengeluarkan barang kiriman mandat dari pelanggan, keluar dari
gerbong barang. Edi yang pingsan menjadi penghambat tim kerja cepat. Andai
mereka tahu, tiga puluh dua tahun yang lalu Edi kecil mendapati ayahnya
dipenjara sebagai masinis yang dituduh lalai menghilangkan nyawa dua ratus
penumpang kereta, menabrakkan rangkaian keretanya dengan kereta lain yang
sedang melaju dari arah berlawanan. Andai bisa Edi mengatakan yang sejujurnya,
ia anak masinis terkutuk yang lelah menghadapai hukuman hakim, cela masyarakat,
dan jadi kambing hitam kecelakaan kereta di hari nahas itu. Bagi ayahnya hukuman tak adil harus
ditanggung, keberangkatan dan laju kokomotifnya semua karena restu kepala stasiun
yang sampai sekarang tetap melenggang hidup makmur tanpa nista.
Ayah Edi dipenjara, miskin tanpa
tunjangan pensiun. Edi kecil terlalu rapuh untuk menerima kejamnya dunia. Semua
jadi hakim dan ia tumbuh jadi orang yang selalu dibayangi kecelakaan yang tak
pernah dialaminya. Cukup cerita ayahandanya saja sudah membuat Edi ikut
bersalah menghilangkan nyawa ratusan orang yang sedang dijemput ajal suatu pagi
di Oktober berdekade yang lalu.
Jika Edi berkata yang sejujurnya,
Logana Ekspres tak akan mempekerjakannya. Ayah pemilik ekspedisi dulu tewas di kecelakaan
kereta yang dilajukan ayah Edi, kemarahan mereka pada si masinis apes masih
membara sampai sekarang.
Keren mba.... Detail banget penggambaran latarnya, suka... 😍
ReplyDeleteHi mb Lia, terima kasih banyak sudah berkunjung ke blog saya. Terima kasih juga apresiasinya, jadi pembakar semangat ini. Selamat belajar juga dan salam kenal ya mbak xoxoxoxo
DeleteKeren bgttttt
ReplyDeleteHi Mb Fathin, terima kasih banyak sudah review postingan saya. Makasih banyak juga sudah mampir ke sini xoxoxoxo
Deletebaguuuus, dan serem -__-
ReplyDeleteMakasih...daaaan...you know now why it took away the soul in me...mwahahahaha...i shall try thrilling short stories
DeleteBagus Ka...
ReplyDeleteHi kak Lisa...makasih sudah mampir ya
DeleteCeritanya keren banget
ReplyDeleteHi mb, terima kasih banyak apresiasinya :)
Delete