Sunday, November 25, 2018

Macet

sumber: https://cookpad.com/id/resep/4653108-lontong-kikil



Hari ini Dewi tersenyum lebih lebar dari biasanya ketika menyapa Bu Parman tetangganya sebelum berjalan keluar gang menunggu datangnya angkot. Sesekali ia tersenyum kecil, tersipu-sipu dengan masih berdiri bersama calon penumpang lain. Bibirnya dikulum beberapa kali, kebiasaannya sejak kecil jika semua berjalan manis.

30 menit kemudian Dewi sampai di depan SMA nya dulu. Setelah membayar ongkos ia merapikan bajunya dan membetulkan letak tali tas di bahunya. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, jri tangannya seketika sedingin es, dan tak disadarinya senyum di bibir tetap mengembang.
“Dewi, sorry lama ya tunggu aku?”suara merdu dan sekelebat wangi tubuh membuatnya menoleh. Indra, teman SMA nya datang menghampirinya. Wajahnya tetap sama, air mukanya juga sama, hanya bidang dadanya yang melebar, tegap tubuhnya juga berbeda dari dulu.

“Oh Indra, apa kabar?” Dewi menutupi gejolak hatinya dengan basa-basi bertanya kabar.

“Baik. Ayo Wi langsung aja yuk?” Indra tanpa basa-basi mengajak Dewi menuju ke sisi samping sekolah, jalan kecil dengan jajaran rumah dinas kosong tak berpenghuni dan beberapa waruung kecil di kedua sisi jalan. Pandangan Dewi langsung menuju ke salah satu warung tenda besar yang mungkin bisa menampung lebih dari 50 pembeli. Ia mengikuti Indra dan segera mengambil tempat di salah satu kursi kosong depan laki-laki tua sekitar 75 tahunan yang asyik menyeruput kuah dari mangkuknya sampai berbunyi ramai.

“Pesen seperti biasanya kan WI?”Tanya Indra memastikan.

“Iya.” Dewi menjawab singkat dan kemudian larut dalam obrolan panjang bersama laki-laki yang selalu dikaguminya itu.

Hampir tujuh menit berlalu dan seorang pelayan membawa nampan berisi dua piring lontong dan dua mangkuk sup kikil sapi. Ia dan Indra terdiam dan kemudian kompak mengambil sendok dan garpu di wadah di atas meja. Dewi melihat mangkuknya dengan takjub. Irisan daging berlemak dari bagian kaki sapi berpadu dengan kuah kuning kunyit dan aneka rempah lain. Wangi gurih semerbak menggelontorkan liur dari pangkal leher memenuhi mulutnya.  Bawang goreng yang berenang bebas di atas permukaan sup membuatnya kalap untuk memasukkan tiga sendok penuh sambal dan mengaduk perlahan campuran daging kaki sapi, otot, dan lemak.

Dewi ingat betul dokter memintanya untuk berhenti makan lemak hewani yang gurih tiada tara dari masakan apapun. Kolesterolnya jahat membuat sendi-sendi kehilangan kelicinan ketika saling berpadu. Tapi ini hari khusus. Ada Indra yang mengajaknya bertemu membicarakan desain interior karyanya yang dipesan kantornya minggu lalu, ada juga ajakan menikmati semangkup sup kikil sapi dari Inda pujaannya dulu dan sekarang.

Dewi menyorongkan sendok melewati tumpukan dadu lontong dan sepotong lontong berhasil menempel di sendoknya. Ditanamkan sendok itu pada limpahan daging kaki sapi yang berlemak. Diambilnya potongan yang paling besar ditelannya dengan penuh keyakinan.

Mendadak nafasnya tersengal. Dewi berusaha menelan potogan daging dan mengambil nafas di saat yang bersamaan. Tenggorokannya tercekat. Makin ditelan makin tersiksa. Tangannya dikepal-kepalkan seakan kekuatan menelan terkumpul di situ. Ia menepuk bahu Indra, sambil membuka rahang selebar-lebarnya. Daging kaki sapi macet mandeg di kerongkongannya. Keras menutup rongga kerongkongan.  Hanya di tangan Indra ia berharap ada bantuan.



#ODOPBatch6
#Fiksibebas

No comments:

Post a Comment

Sang Kala

Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html “Ceritakan padaku apa yang perlu kudengar.” “...