Sumber gambar: https://www.huffingtonpost.com/2013/12/31/time-art_n_4519734.html |
“Ceritakan padaku apa yang perlu
kudengar.”
“Aku tak yakin perlu atau tidak
aku bertukar cerita padamu. Aku terlalu sibuk memikirkan tentang masa depan.
Tidakkah kau punya hal lain untuk dikerjakan?” kuusir sosok pengganggu yang
duduk tenang di sampingku.
“Ah, kau hanya memikirkan tentang
hal yang sudah tidak bisa berganti. Sudah mutlak. Percuma kau pikirkan itu.
Lagipula siapa yang bisa memperkirakan masa depan? Manusia tak punya kekuatan
untuk mengubah apa yang sudah digariskan, sudah tertulis di buku kehidupan.
Diberitahu pun manusia terlalu bodoh untuk membuat persiapannya. Manusia
terlatih untuk menyesali masa lalu. Itu
sudah paten, manusia memang pandai membuat hatinya gundah karena masa
lalu. Ayolah, kau ceritakan saja apa yang menarik dari masa lalumu. Aku siap
mendengarkan.” katanya.
Aku hampir tak bisa mendengar
ceramah panjang pengganggu itu sampai selesai. Apa yang dikatakannya memang
benar semuanya. Aku terlalu khawatir tentang hal yang berada jauh dari kuasaku,
masa depan. Bagaimanapun aku tak biasa bercerita pada orang asing. Apalagi ia
datang tiba-tiba ketika aku benar-benar ketakutan dan sedang tidak ingin
berbicara apapun karena aku sibuk memikirkan apa yang akan terjadi pada
nasibku.
Setelah keheningan yang melintas
di antara kami berdua, tepatnya setelah ia selesai membetulkan jubah hitam yang
mengganggu posisi duduknya, akhirnya aku menyerah. Lebih baik bercedrita untuk
mengusir rasa cemas dan sepiku di sini. Senyampang ada yang menemaniku, tak
mengapalah kuceritakan tentang masa laluku.
“Baik, kurasa aku punya sesuatu
yang ingin kau dengar.” ujarku.
“Akhirnya! Aku siap
mendengarkanmu.” Kulihat sudut mulutnya sedikit terangkat, ia puas aku menyerah
pada tawarannya.
“Jadi, dulu aku orang yang
merugi.”
“Tahu darimana kau merugi? Pernah
kau hitung untung rugimu? Sudah kau timbang dengan baik?” baru satu pernyataan dariku
dan ia mematahkannya.
“Aku rugi karena telah terbuang waktuku yang
ternyata amat sangat sedikit ketika akhirnya ibu meninggal. Kupikir saat itu ia
hanya sakit biasa, kambuh dan keadaan baik-baik saja di rumah. Tapi ketika ayah
memintaku pulang dan aku masih pulang dengan enggan. AKu ingin menghabiskan
wkatu lebih banyak di kota S dengan kekasihku. Tapi ternyata ketika aku pulang,
keadaan ibu sangat parah. Belum dua jam aku di rumah, ibu sudah dibawa ke kota
S untuk dirawat lagi. Aku kembali ke kota S dan sedikit menggerutu, mengapa aku
harus pulang jika ternyata ibu dibawa ke kota S, aku tidak perlu bolak-balik
kan. Hanya lima hari kemudian ibuku meninggal. Aku menyiak-nyiakan waktu yang
bisa kuhabiskan bersamanya, aku merugi.”
“Kau yakin ini cerita yang perlu
kudengar? Memang terdengar menyedihkan tapi kurasa kau masih punya hal yang
lebih buruk dari ini.” jawabnya enteng.
“Aku pergi pulang dari rumah
sakit ke rumah tempatku tinggal di kota S, menjalankan kewajibanku sebagai
pekerja seakan semuanya biasa saja seperti hari-hari sebelum ibuku tidur lemah
di rumah sakit. Jika aku tahu ibu meninggal setelah lewat hari kelimanya di
kota S, aku tak akan meninggalkannya hanya untuk pekerjaanku yang upahnya tak
seberapa itu. Aku ingin punya lebih banyak waktu dengannya. Aku merugi.”
“Lalu? Apalagi?” si pengganggu masih
ingin tahu.
“Ibu ingin minum sari buah jeruk saat
sakit di malam pertamanya di kota S. Tepat ketika aku menghabiskan sari buah di
dekat kasurnya dan aku tak bisa membelikannya segelas saja. Sampai sekarang aku
masih mengingatny. Hanya karena aku malas mencari penjual sari buah untuk menghilangkan
rasa pahit di mulutnya. Aku menyesal dan aku merugi.”
“Hm…menarik. Tapi masih ada yang
jauh lebih menarik dari ceritamu itu.” tanggapannya atas ceritaku.
Dan mendengarnya mengatakan hal
itu makin membuatku merasakan sesak di dada, seakan banyak beban berusaha
menyeruak keluar dan sebaliknya rasa bersalah masuk merayap ke dalam tubuhku.
Penyesalanku yang sudah kukubur dengan baik sekarang menjadi dan perlahan berkuasa
atas diriku. Semuanya terasa pedih dan menyakitkan.
“Ibu meninggal dalam usapanku,
hanya bersamaku. Di saat ia mengembuskan nafas terakhirnya aku sedang menyeka
wajahnya dan aku tak tahu jika tarikan nafas terakhirnya pagi itu adalah
penanda jiwanya sudah pergi, hanya raganya yang masih bersamaku. Aku merugi,
harusnya aku bangun lebih pagi dan menatap wajahnya lebih lama. Harusnya malam
sebelum ia meninggal aku tidak tidur, memijit kaki atau sekedar mengajaknya
bicara, aku yakin ibu bisa mendengarku walau ia sudah tak lagi sadar. Aku
merugi.”
“Oh ya, aku banyak mendengar
cerita penyesalan seperti ini.” Sekali lagi tanggapan dingin meluncur begitu
saja dari ucapnya.
Aku makin tertantang untuk
menceritakan hal-hal dramatis dari masa laluku padanya, untuk membuatnya lebih
iba padaku. Maka kulanjutkan lagi, “Aku dulu tak pernah dekat dengan ayahku.
Jarang berbicara dengannya dan tahu-tahu ia lumpuh akibat darah tinggi yang
kemudian membuatnya makin sulit bicara. Harusnya aku lebih banyak mengajaknya
bererita tentang apapun. Aku adalah darah dagingnya dan tanpanya aku tak ada di
dunia. Aku merugi.”
Si pengganggu hanya diam. Maka
kupikir aku sudah sedikit mendapat simpatinya. Kuingat lagi hal buruk yang
kusesali di masa laluku dan kuceritakan lagi padanya.
“Aku membuang masa mudaku untuk
memadu kasih dengan banyak laki-laki. Tak ada yang memberiku cinta sejati,
sampai saat ini. Semuanya busuk. Aku membuang waktu untuk hal yang tidak
berguna.” Sambil mengatakan empat kalimat ini semakin sedih aku dibuatnya, jauh
lebih sedih daripada ketika kuceritakan bagian orang tuaku padanya. Aku merasa
sudah menyia-nyiakan waktu hidupku benar-benar untuk hal yang tak berguna. Melakukan
hal yang tak disukai kedua orang tuaku, bahkan sejujurnya aku sendiri juga
benci mengakui bahwa aku tidak pernah menginginkan seorang pun dari mereka
menjadi suamiku.
Si pengganggu sedikit memalingkan
sisi wajah sebelah kirinya, ke arahku. Aku tahu aku mulai mengatakan hal yang
menarik buatnya, dan kemudian tanpa kusadari kalimat berikutnya meluncur dari
bibirku.
“Aku sangat merugi. Kuhabiskan
waktuku untuk memuja lelaki, mengejar kehidupan duniawi, menghadiri aneka acara
pelesiran yang menguras kantongku tanpa hasil yang berarti, kubuang waktuku
untuk bersenang-senang karena aku ingin bahagia di dunia. Aku merugi karena
tidak kupakai sedikit waktuku untuk beribadah pada-Nya, memuji nama-Nya,
berjalan ke rumah-Nya dan memohon ampunan-Nya. Aku sangat merugi tak bisa
menjaga tubuh yang sudah diberikan-Nya padaku, tak bisa menggunakan akal
sehatku untuk hal yang baik, dan tak menjaga ucapanku dari hal yang sangat
dibenci-Nya. Aku manusia yang merugi!” pekikku tak terkontrol dengan air mata
mengucur deras membasahi pipiku.
“Itu yang ingin kudengar.
Baguslah jika kau mampu mengingatnya. Semua kini sudah terlambat, jangan sibuk
memikirkan apa yang akan terjadi dan tak perlu lagi kau ingat apa yang sudah
kau lalui. Semuanya sudah tercatat rapi dan pasti terjadi. Jadi sekarang nikmati
saja penyesalanmu dan aku pamit.” Si pengganggu meninggalkanku.
Cepat sekali ia pergi seperti
sekelebat bayangan. Aku sendiri lagi di tanah lembab ini. Ragaku kaku terbujur
dalam balutan kain mori menunggu siapa lagi yang akan datang dan membuatku nyeri
mengingat hidupku di dunia kala itu.