 |
https://bit.ly/2ToO7o6 |
Adina menuntun sepedanya sepulang dari balai kota. Dengan
cepat ia melintasi jalanan yang sedikit lembap karena kabut datang terlambat
pagi ini. Senyum menghiasi wajahnya dibantu oleh paduan apik bandana merah
jambu dan jas wol rajutan tangan bibinya dari Austria. Dengan baju lapis seteal
itu pun ia masih merasa dingin perlahan membuat kaku buku-buku jarinya. Ah, dia
gugup. Seperti hari-hari yang lain ketika ia bertemu Heinrich.
Mereka akan bertemu di restoran milik Hermann, sahabat Heinrich.
Tidak, restoran yang menyajikan kopi terbaik di Warsawa tepatnya. Bahkan orang
dari kota lain jauh di hulu Sungai Wolbórka juga sibuk datang ke restoran Hans.
Padahal restoran ini baru buka menjelang makan siang, tapi biasanya belasan
orang sudah mengantri di depan pintunya. Adina membayangkan secangkir kopi
dengan roti bakar dan buah segar. Biarlah musim menjelang ke awal musim gugur,
buah-buahan kering masih pas menemani hari yang merangkak siang.
Adina tiba di restoran itu dan langsung menuju ke pintu
samping menghindari tiga orang lelaki setengah baya yang mengantri untuk
secangkir kopi dengan bagel atau mungkin
muffin. Ia menuju dapur karena di
situlah Hermann dan Heinrich berada.
Adina dan Heinrich selalu bercengkerama sampai waktu makan
siang usai, dengan atau tanpa Hermann. Ia terlalu sibuk dengan tukang masak dan
pelanggan restorannya. Seringkali riuh restoran membuat keduanya pindah duduk
ke lorong samping restoran. Cerita tentang keadaan di gedung balai kota dan
kelas piano adalah topik yang tak ada habisnya untuk diobrolkan. Hari ini Adina
sudah menyiapkan cerita tentang Izaak, pegawai baru yang mengacau di hari
pertamanya bekerja. Ia juga membawakan beberapa buku partitur piano yang tak
sengaja ditemukan di tumpukan kardus bekas milik atasannya, khusus untuk
Heinrich.
Suasana sambutan yang dingin dan kurang ramah diterima Adina
baru saja setelah tuntas memarkir sepeda dan selangkah masuk ke pintu belakang
restoran. Hermann meludah kecil sambil spintas melihat ke arah Adina.
“Sebaiknya kau pergi hari ini.” Heinrich merangkul bahu
Adina dan membawanya keluar restoran.
“Ada apa? Mengapa Hermann begitu?”
“Kau pulang saja. Tolong, jaga dirimu baik-baik. Dengarkan
aku baik-baik, jaga dirimu, kau haru berjanji padaku. Ingat kau harus menjaga
keselamatan keluargamu, terutama dirimu sendiri. Langsung pulang dan ajak kedua
adikmu. Beri tahu orang tuamu untuk segera berkemas. Tinggalkan Warsawa.” Heinrich
berkata tegas, jelas, tapi entah mengapa Adina tak memahamii barang sepatah
kata pun yang didengarnya.
“Heinrich, apa maksudmu? Mengapa aku harus pergi. Bagaimana
dengan rencana liburan kita ke Vladivostok? Katamu kita akan membicarakan
tentang liburan kita berdua hari ini.” Adina protes dan menolak pergi dari
restoran.
“Adina, dengarkan aku. Sekali ini saja, jangan buat aku
mengulangi lagi perkataanku. Demi keselamatanmu dan keluargamu segeralah
berkemas dan tinggalkan kota ini. Pergilah ke rumah pamanmu di selatan atau ke
rumah adik ibumu di Zaslaw.” Nada suara Heinrich yang serius untuk kedua
kalinya meyakinkan Adina bahwa sesuatu akan terjadi dengan kotanya. Ia
melangkah menuju sepedanya.
“Kau masih mencintaiku kan?” tanyanya pelan, kali ini
matanya mencoba menangkap jawaban dari mata Heinrich.
“Cinta tidak kita butuhkan di masa seperti ini. Usah kau
tanyakan lagi.” Jawab Heinrich datar. Ia berjalan masuk kembali ke restoran dan
menikmati remuk redam hatinya. Sikap kasarnya akan menyelamatkan Adina. Makin
ia berlama-lama dengan gadis yang baru dikencaninya tiga bulan ini, makin berat
tanggungan siksa di batinnya. Heinrich merogoh saku celananya. Kotak beludru
dengan dua cincin itu masih ada di sana. Lamaran yang dipersiapkan untuk Adina
ketika nanti berlibur di Vladivostok harus dikubur. Saat ini waktu berkejaran
dengan bahaya, cinta tak perlu ada di masa seperti ini. Toh adanya cinta takkan
menyatukan mereka.
“Sudah kau usir gadis Yahudi itu?” tanya Hermann
“Ya.” Jawab Heinrich singkat kemudian duduk dan mencecap kopi
di cangkir tua yang sedikit dingin.
“Mereka hanya sampah.” Hermann sengaja membuat Heinrich
dengan jelas mendengar kata sampah. Lalu ia bercakap-cakap dengan kokinya.
***
8 Oktober 1939
Dua hari setelah Adina dicampakkan Heinrich, ia dan
keluarganya tiba di Sobibór. Mereka berencana akan mengunjungi adik ibunya di
Zaslaw tapi kereta api tak lagi beroperasi. Mereka menumpang truk pengangkut
ternak bersama keluarga Friedman tetapi kemudian dihentikan tentara Schutzstaffeln
tepat sebelum memasuki Sobibór.
Adina dan ibunya dipisahkan dari kedua adik laki-laki dan
ayahnya. Ia berbaju terusan dengan garis vertikal yang sedikit apek bau
keringat. Seluruh barang pribadinya sudah digeledah dan disita oleh tentara Schutzstaffeln
wanita, belakangan diketahui namanya Bett. Hanya buku partitur untuk Heinrich
yang berhasil disembunyikannya. Ia menghuni barak besar dengan lima belas
ranjang susun yang beralas tipis. Sudah ada enam wanita di dalamnya sebelum ia
datang. Semuanya sama, berbaju garis.
Suara perintah dalam bahasa Jerman didengarnya pagi sampai
malam. Raungan sirine untuk ini dan itu dipelajarinya hanya dalam waktu sehari.
Bersama ratusan penghuni kemp ia bekerja pagi sampai sore hari untuk segala
kebutuhan tentara Schutzstaffeln. Ia bertani dan ibunya di bagian
jahit-menjahit,
Setelah dua bulan ia bekerja di sana, hanya sekali melihat
ayah dan kedua adiknya. Setelah itu hanya sekelebat gerak ayahnya yang
tertangkap mata. Kemp untuk laki-laki terpisah dari wanita. Di saat malam yang
melelahkan datang, ia memeluk buku partiturnya. Diucapkan doa untuk Heinrich
agar ia juga selamat dari kerja paksa yang membingungkan ini.
***
2 Januari 1940
Setelah hampir tiga bulan di tempat ini, jumlah penghuni
wanita bertambah hampir tiga kali lipatnya. Mereka datang dengan kereta yang
berhenti di dekat batas kota Sobibór. Wajah penumpangnya kusut masut dan lemas.
Adina tak tahu kereta tak berjendela itu mengangkut ratusan orang yahudi dari berbagai
sudut kota untuk disatukan di kemp tempatnya bekerja.
Adina melihat ke arah pendatang baru dan dilihatnya sesosok
pria tegap dalam seragam Schutzstaffeln. Ia mengernyitkan muka dan mencoba
memusatkan padangannya melihat sosok itu dari kejauhan. Itu Heinrich. Tampak
gagah dengan seragam Schutzstaffeln nya. Adina senang, Heinrich rupanya sangat
memperhatikan keadaannya. Ia akan keluar dari kemp ini. Seketika langkahnya
ringan dan senyumnya terkembang. Diangkutnya karung benih dengan riang. Ia akan
pulang.
“Mengapa kau tersenyum?”Anet, teman sebarak bertanya padanya
ketika mereka menanam bibit bersama.
“Aku akan pulang.” jawab Adina singkat.
“Darimana kau tahu?” tanya Anet heran.
“Aku yakin. Kekasihku di sini.”
“Kekasih? Yang mana? Baru datang?”
“Ya.” jawab Adina singkat.
“Semoga itu benar terjadi. Ibuku tak kembali dari semalam.
Sudah kutanyakan pada petugas, katanya ibuku dipindah ke bagian lain. Ibu,
nenek dan bibi Agata yang sudah tua juga tidak kembali. Bahkan ada tiga hari
lamanya. Dora juga mengalami hal yang sama. Adik-adiknya yang masih kecil tak
lagi terlihat sudah seminggu. Aku heran ada apa dengan kemp ini. Kemana semua
orang-orang tua dan anak-anak pergi.” Anet tetap bekerja walau ada nada getir
di suaranya.
“Sebentar, aku akan kembali.” Adina meninggalkan Anet dan
menyelinap dari pengawasan petugas menuju ke baraknya. Ia menghambur ke kasur
ibunya dan tak ada lagi bantal, selimut, dan sedikit barang ibunya. Semuanya
lenyap. Dicarinya buku partitur kesayangannya di antara sela tempat tidurnya.
Ada di sana. Ia menemukan secarik kertas lusuh dengan tulisan tangan yang
sangat dikenalnya. Tulisan ibunya.
“Adina. Jaga dirimu baik-baik. Semoga kau bisa keluar dari
sini. Jangan pernah lengah. Maaf ibu selama ini diam, ini semua demi
keselamatanmu. Kau harus tenang dan gunakan otakmu untuk kabur dari sini. Waktu
ibu tak lama. Mereka membunuh semua orang tua dan anak-anak. Kabarnya mereka
dibakar hidup-hidup, ada yang bilang ditembak di ladang jagung di ujung kemp. Ibu
tak tahu kebenarannya. Ibu hanya berdoa yang terbaik untukmu, adik-adik, dan
ayahmu. Semoga mereka baik-baik saja. “ begitu isi suratnya.
Adina menengok ke luar jendela, hujan abu datang lagi. Sudah
hampir seminggu setiap jam Sembilan pagi abu turun setelah diterbangkan angin.
Mungkin batu bara mengeluarkan polusi, ataukah ini abu pembakaran mayat ibu ,
nenek, dan bibi nya Agata dan Dora? Ataukah…
Dor!
Suara keras memecah gelisah batinnya. Perlahan ia
keluar dari barak dan melihat di kejauhan seorang pria terkapar dengan kepala
berlumuran darah. Dua orang laki-laki lainnya berlutut dengan gemetar di samping
sang pria malang. Seorang tentara SS – Schutzstaffeln menodongkan pistol ke
tempurung kepala lelaki kedua. Tentara itu Heinrich.
Catatan:
Sobibór adalah kemp pemusnahan masal yang dibangun dan dioperasikan oleh SS,
satuan organisasi langsung di bawah kepemimpinan Adolf Hitler dan partai Nazi.
Kemp ini dibangun di dekta rel kereta api pada Perang Dunia Kedua. Tercatat
lebih dari 250,000 orang Yahudi dibunuh di sini.
#TantanganFiksiHistoris
#ODOPBatch6